Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad), (pada hakikatnya) mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Oleh sebab itu, siapa yang melanggar janji (setia itu), maka sesungguhnya (akibat buruk dari) pelanggaran itu hanya akan menimpa dirinya sendiri. Siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan menganugerahinya pahala yang besar. (QS. Al-Fath: 10)
Dalam Tafsir Departemen Agama RI. disebutkan bahwa ayat ini menerangkan pernyataan Allah terhadap bai‘at yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah saw. bahwa hal itu juga berarti mengadakan bai‘at kepada Allah. Bai‘at ialah suatu janji setia atau ikrar yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang berisi pengakuan untuk mentaati seseorang, misalnya karena ia diangkat menjadi pemimpin atau khalifah.
Yang dimaksud dengan bai‘at dalam ayat ini ialah Bai‘atur Ridwan yang terjadi di Hudaibiyah yang dilakukan para sahabat di bawah pohon Samurah. Para sahabat waktu itu berjanji kepada Rasulullah saw. bahwa mereka tidak akan lari dari medan pertempuran serta akan bertempur sampai titik darah penghabisan memerangi orang-orang musyrik Mekah, seandainya kabar yang disampaikan kepada mereka bahwa Utsman bin Affan yang diutus Rasulullah itu benar telah mati dibunuh orang musyrik Mekah.
Jumhurul Ulama membaca ‘alaihi (huruf ha' dikasrahkan). Sedang Hafsh membacanya ‘alaihu (huruf ha' didhammahkan). Karena ha' di sini adalah ha' yang berarti huwa (dia). Dan ha' seperti ini harakatnya dammah. Sehingga oleh Hafsh ha' di sini didammah sebagaimana membaca kata lahu dan kata dharabahu.
Ada pendapat lain tentang alasan ha' dhamir yang dibaca dhammah walaupun jatuh setelah ya’ mati. Hal ini terkait dengan asbabun nuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat memenuhi janji setia kepada Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat memenuhi janji tersebut merupakan sifat yang mulia dan luhur (rif‘ah). Dan penempatan harakat dhammah pada lafal alaihu (عَلَيْهُ) memberikan nuansa kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena suasana sosiologis dan keberadaan lafal tersebut berada pada ayat yang menunjukkan kemuliaan dan keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan bahwa ha' dhamir tersebut disebut sebagai ha' rif‘ah (ha' keluhuran).
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Referensi:
1.) Terjemah Tafsir Al-Maraghi, juz 26, hal. 123
2.) Tafsir Depag. RI.
3.) Website: cahayaqurani.wordpress.com