Kata Qabdlatan min Atsari ar-rasul yang artinya “Segenggam (tanah dari) jejak Rasul” Ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para mufasir mengenai anak kalimat dalam ayat di atas. Ada dua pendapat dalam menafsirkan kalimat tersebut di antaranya: Rasul dalam ayat ini adalah Malaikat Jibril as., yakni debu dari jejak kaki kuda yang dinaiki Jibril as. yang bila menjejakkan kakinya ke atas sesuatu, maka sesuatu itu pasti akan hidup, bernyawa, dan bila debu bekas injakan kaki kuda Jibril as. itu diambil sedikit, dan dilemparkan ke dalam mulut anak sapi emas yang sudah berbentuk itu, maka ia akan mengeluarkan suara melenguh seperti suara sapi. Pendapat yang lebih banyak dianut oleh para mufasir, termasuk ar-Razi dan al-Qasim antara lain, seperti apa yang dinyatakan oleh Abu Muslim al-Isfahani, bahwa Rasul yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Musa as., dan kata atsar, “bekas, peninggalan” ialah ajaran dan teladan yang ditinggalkan Nabi Musa as., bukan “bekas kaki kuda malaikat”.
Selanjutnya, kata ar-rasul/utusan digunakan oleh Al-Qur’an dalam arti utusan Allah, yang bisa jadi manusia atau malaikat antara lain malaikat Jibríl, baca QS. at-Takwir ayat 19. Dengan demikian, jejak Rasul dapat dipahami dalam arti “bekas yang ditinggalkan oleh malaikat Jibríl as.”, atau “Rasul yang diutus Allah dari manusia”, dalam konteks ayat ini adalah Nabi Musa as., sedang bila jejak yang dimaksud adalah sesuatu yang bersifat immaterial, jejak Rasul dapat berarti ajarannya. Semua pendapat yang dikemukakan di atas tidak luput dari kritik dan kelemahan. Karena itu, tidak heran bila Sayyid Quthub berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak menjelaskan hakikat peristiwa yang terjadi, Al-Qur’an hanya menyampaikan jawaban Samiri, sekadar menyampaikannya saja. Selanjutnya, Sayyid Quthub menulis bahwa, “kami cenderung menganggap ucapan Samiri itu sekadar dalih untuk menghindari tanggung jawab menyangkut apa yang terjadi.”
Wallahu A’lam