Setiap teori akan terus eksis jika generasi penerusnya melanjutkan dan menyebarkan teori tersebut. Pun demikian, setiap manhaj qira’at (metode atau variasi bacaan Al-Qur’an) tertentu akan tetap eksis selamanya jika para generasi penerusnya melanjutkan dan menyebarkan manhaj tersebut. Generasi yang berjasa mengenalkan dan mesyiarkan ke masyarakat luas itu disebut perawi.
Dalam ilmu qira’at, para imam qira’at, seperti Imam ‘Ashim, berposisi sebagai peramu manhaj atau pemilik qira’at yang dihasilkan dari penyeleksian dan dilestarikan sebagai qira’at bacaannya. Sementara perawi dari imam qira’at berposisi sebagai pelanjut manhaj bacaan sang imam dan memperkenalkannya kepada khalayak masyarakat. Sedangkan perawi berikutnya dari perawi pertama berposisi sebagai yang mengembangkan dan melestarikan bacaan sang imam. Perawi dari perawi pertama ini disebut “thariq” atau jalur perawi.
Dalam ilmu qira’at, setiap imam memiliki dua perawi dan setiap perawi memiliki dua thariq atau jalur bacaan. Dalam qira’at Imam ‘Ashim, beliau memiliki dua perawi yaitu: Syu’bah dan Hafs.
Biografi Syu’bah bin Ayyasy
Nama lengkapnya adalah Syu’bah bin Ayyasy bin Salim al-Hannath al-Nahsyali al-Kufi, nama panggilannya (kuniyah) Abu Bakar. Beliau lahir pada tahun 95 H.
Beliau merupakan imam besar yang ‘alim, bergelar “hujjah” dan termasuk pembesar Ahlussunnah. Gelar hujjah Ahlussunnah layak disematkan kepadanya, karena keteguhannya dalam upaya mempertahankan ideologi Ahlussunnah. Beliau berkata: “Barangsiapa yang menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk, maka bagi kami ia adalah kafir zindiq, ia adalah musuh Allah, kita tidak boleh berinteraksi dengannya dan berbicara dengannya.”
Perjalanan Intelektual Imam Syu’bah
Perjalanan intelektual Imam Syu’bah ini diawali dengan menghafal Al-Qur’an, belajar dan menyimakkannya (tasmi’) kepada guru di kampung halamannya, kemudian dilanjutkan pengembaraan intelektualnya dengan belajar kepada satu guru ke guru yang lain, layaknya seorang penuntut ilmu yang haus akan cahaya ilmu. Namun dalam bidang Al-Qur’an dan qira’atnya, beliau belajar kepada: ‘Ashim bin Abi al-Najud, Atha’ bin al-Saib, dan Salim al-Munqiri.
Kepada Imam ‘Ashim beliau bermulazamah lama sehingga beliau dapat mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari satu kali. Dari Imam ‘Ashim inilah, beliau kemudian menjadi perawi sekaligus murid yang banyak mengisahkan dan meriwayatkan kisah kehidupan sang guru.
Dalam pengabdian ilmunya, Allah menganugerahkannya umur yang panjang kepadanya, sehingga memberikan peluang kepadanya menabung pundi-pundi amal baik dan pengabdian yang tulus, namun di akhir sisa hidupnya beliau memutuskan tidak mengajar Al-Qur’an selama tujuh tahun.
Komentar Ulama Tentang Imam Syu’bah
Atas ketulusan dan keikhlasannya mengabdi kepada Kalam-Nya, beliau menempati posisi yang amat terpuji, sehingga Imam al-Jazari memberikan apresiasi yang sangat tinggi.
Imam al-Jazari berkata: “Syu’bah adakah seorang imam besar, yang alim dan mengamalkan ilmunya, dan termasuk pembesar ulama sunnah”.
Murid-murid Imam Syu’bah
Setalah dirasa cukup pengembaraan intelektualnya kepada beberapa guru-guru yang tersebut di atas, maka beliau kemudian membuka pengajian atau menerima setoran Al-Qur’an dari berbagai kalangan, salah satunya adalah: Abu Yusuf Ya’kub bin Khalifah al-A’syi, Abdurrahman bin Abi Hammah, Yahya bin Muhammad al-Ulaimi, Urwah bin Muhammad al-Asadi, dan Sahal bin Syuaib.
Selain murid-murid di atas, ada beberapa murid-muridnya yang hanya meriwayatkan bacaan Imam Syu’bah tanpa melalui setoran atau tasmi’ bacaan kepadanya, salah satunya adalah; Ishaq bin Isa, Ishaq bin Yusuf al-Azraq, Ahmad bin Jabar, Abdul Jabbar bin Muhammad al-Atharidi, Ali bin Hamzah al-Kisa’i, dan Yahya bin Adam.
Syu’bah dan Saudara Perempuannya
Ketika Imam Syu’bah mendekati ajalnya, saudara perempuannya menangis sambil menghampirinya. Melihat tangisan saudarinya itu, Imam Syu’bah bertanya: “Kenapa kamu menangis?. (tidak usah menangis), lihatlah di pojokan itu, di sana saya telah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 1800 kali khataman”.
Ungkapan yang disampaikan Syu’bah kepada saudarinya ini menunjukkan betapa tulusnya Syu’bah mengabdi kepada Tuhan dan Kalam-Nya. Di sisi lain, isyarah ke pojokan itu sebagai bentuk wasiat kepada saudarinya untuk melestarikan dan meneruskan perjuangannya.
Setelah mendarma-baktikan dirinya kepada Al-Qur’an, beliau wafat pada bulan Jumadil Ula tahun 193 H.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU