1.) TAFSIR PADA MASA SAHABAT
Sepeninggal Rasulullah saw., umat Islam mulai mempelajari Al-Qur'an dan mencoba memahami makna-makna yang terkandung, dengan memperhatikan riwayat-riwayat para sahabat yang senantiasa mendampingi Rasulullah saw. Setidaknya ada sepuluh sahabat yang termasyhur di bidang tafsir Al-Qur'an, yakni (1) Abu Bakar, (2) Umar, (3) Utsman, (4) Ali; mereka adalah khalifah yang empat, (5) Abdullah ibnu Mas‘ud, (6) Ibnu Abbas, (7) Ubay bin Ka‘ab, (8) Zaid ibnu Tsabit, (9) Abu Musa Al-Asy‘ari, dan (10) Abdullah ibnu Zubair.
Di antara Khulafaur Rasyidin yang paling banyak menjadi sumber periwayatan tafsir adalah Ali bin Abi Thalib. Sedang tiga khalifah lainnya terbilang jarang meriwayatkan. Meski demikian, Ibnu Mas‘ud (wafat 32 H di Madinah) lebih banyak dirujuk dibanding Ali bin Abi Thalib, dalam masalah tafsir.
Abdullah ibnu Abbas (wafat 68 H di Thaif) adalah seorang sahabat yang dikenal sebagai penafsir Al-Qur'an, “lautan ilmu” dan guru para mufassir. Riwayat-riwayat tentang tafsir yang bersumber dari Ibnu Abbas sangat banyak. Ia satu-satunya orang yang didoakan secara langsung oleh Rasulullah, ketika beliau berdoa:
“Ya Allah, berilah dia (Ibnu Abbas) pengertian di bidang ilmu agama, dan berilah dia ilmu di bidang takwil.”
Penyusun Kitab Kasyfuzh-Zhunun mengatakan, “Jalur-jalur periwayatan yang paling dianggap sah dari Abdullah ibnu Abbas adalah:
1). Jalur Ali ibnu Abi Thalhah Al-Hasyimy (wafat 143 H). Dari jalur inilah Imam Al-Bukhari berpegang di dalam Kitab Sahihnya.
2). Jalur Qais ibnu Muslim Al-Kufy (wafat 120 H) dari Atha' ibnu As-Sa'ib.
3). Jalur Ibnu Ishaq, penyusun Kitab As-Sirah.
4). Jalur Abu Nashr Muhammad ibnu As-Sa'ib Al-Kalby (wafat 146 H). Namun demikian, jalur ini terbilang paling lemah, lebih-lebih jika bersesuaian dengan Muhammad ibnu Marwan As-Suddy As-Shagir (wafat 186 H).
Juga telah diterbitkan sebuah kitab tafsir yang dinisbatkan kepada Abdullah ibnu Abbas, yang diriwayatkan oleh Fairuzzabadi— pengarang kamus Al-Muhit, dengan nama Tanwirul-Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas.
Ubay bin Ka‘ab (wafat 20 H), diriwayatkan darinya sebuah tafsir besar, yang diriwayatkan oleh Abu Ja‘far Ar-Razy dari Rabi‘ ibnu Anas dari Abil-Aliyah. Ubay bin Ka‘ab adalah sahabat rasul yang turut serta dalam penghimpunan Al-Qur'an pada masa nabi, dan dikenal sebagai “raja qira'at”.
Zaid bin Tsabit Al-Ansari (wafat 45 H), adalah salah satu penulis wahyu. Ia termasuk orang pertama penghimpun Al-Qur'an di masa Khalifah Abu Bakar. Kemudian diangkat sebagai Ketua Panitia Penulisan Al-Qur'an di dalam satu mushaf di masa Khalifah Utsman.
Abu Musa Al-Asy‘ari, nama aslinya adalah Abdullah Ibnu Qais Al-Asy‘ari (wafat 44 H).
2.) TAFSIR PADA MASA TABI‘IN
Tabi‘in yang ahli di bidang tafsir ialah:
A.) Ulama Mekah yang mengambil riwayat dari sahabat Abdullah ibnu Abbas; di antara mereka yang paling masyhur adalah:
1). Mujahid ibnu Jabar (wafat 103 H). Ia berkata, “Aku membaca Al-Qur'an di hadapan Abdullah Ibnu Abbas sebanyak 30 kali.” Kitab tafsirnya, dipakai pegangan Imam Asy-Syafi‘i dan Imam Al-Bukhari.
2). Sa‘id ibnu Jubair (wafat 94 H).
3). Ikrimah, bekas hamba Abdullah ibnu Abbas (wafat 105 H, di Mekah).
4). Thawus ibnu Kisan Al-Yamani (wafat 106 H di Mekah).
5). Atha' ibnu Abi Rabah Al-Makky (wafat 114 H).
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “Ambillah tafsir dari empat orang, yakni Sa‘id ibnu Jubair, Mujahid, Ikrimah dan Adh-Dhahhak.”
Qatadah mengatakan, “Para tabi‘in yang paling alim ada empat orang, yaitu: Atha' ibnu Abi Rabah, paling alim di bidang ibadah; Sa‘id ibnu Jubair, paling alim di bidang tafsir Al-Qur'an; Ikrimah, paling alim di bidang biografi; dan Hasan Al-Bashri, alim di bidang hukum halal dan haram.”
B.) Ulama Kufah, yang meriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas‘ud; di antara yang paling masyhur adalah:
1). Alqamah ibnu Qais (wafat 102 H).
2). Al-Aswad ibnu Yazid (wafat 75 H).
3). Ibrahim An-Nakha'i (wafat 95 H).
4). Asy-Sya‘by (wafat 105 H).
C.) Ulama Madinah, meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam Adawy Al-Madany (wafat 136 H). Ia mempunyai kitab tafsir yang dianggap sebagai sumber utama bagi kitab-kitab tafsir yang lain. Di antara ulama Madinah yang terkenal adalah:
1). Abdurrahman ibnu Zaid (anak Zaid), (wafat 182 H).
2). Malik ibnu Anas, (wafat 179 H).
3). Al-Hasan Al-Basri, (wafat 121 H).
4). Atha' ibnu Abi Muslim Al-Khurasani, (wafat 135 H).
5). Muhammad ibnu Ka‘ab Al-Qurazy (wafat 117 H).
6). Abul-Aliyah Rafi‘ ibnu Mihran Ar-Rayahi (wafat 90 H).
7). Adh-Dhahhak ibnu Muzahim (wafat 105 H).
8). Atiyah ibnu Sa‘id Al-Aufy (wafat 111 H).
9). Qatadah ibnu Da‘amah As-Sadusi (wafat 117 H).
10). Ar-Rabi‘ ibnu Anas (wafat 139 H).
11). Ismail ibnu Abdurrahman As-Suddy Al-Kabir (wafat 127 H).
3.) PERPADUAN ANTARA PENDAPAT PARA SAHABAT DAN TABI‘IN
Di antara mereka, yang terkenal adalah:
a.) Sufyan ibnu Uyainah (wafat 198 H).
b.) Waqi‘ ibnu Al-Jarrah Al-Kufy (wafat 197 H).
c.) Syu‘bah ibnu Al-Hajjaj (wafat 160 H.).
d.) Yazid ibnu Harun As-Sulami.
e.) Abdurrazaq (wafat 211 H).
f.) Adam ibnu Abi Iyas (wafat 221 H).
g.) Ishaq ibnu Rahawaih Al-Imam Al-Hafizh An-Naisabury (wafat 238 H).
h.) Rauh ibnu Ubadah (wafat 205 H).
i.) Abdurrahman ibnu Hamid Al-Juhani.
j.) Abu Bakar ibnu Abi Syaibah Al-Imam Al-Hafizh Al-Kufy (wafat 335 H).
4.) MASA ULAMA SETELAH TABI’IN
Peringkat ini adalah tingkatan setelah peringkat sebelumnya, yakni:
a.) Ali ibnu Abi Thalhah (wafat 343 H).
b.) Ibnu Abi Hatim Abdurrahman ibnu Muhammad Ar-Razy (wafat 327 H).
c.) Ibnu Majah Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Al-Qazwainy (wafat 273 H).
d.) Ibnu Mardawaih Abu Bakar Ahmad ibnu Musa Al-Ashfahany (wafat 410 H).
e.) Abu Asy-Syaikh Ibnu Hibban Al-Busty (wafat 354 H).
f.) Ibrahim Ibnu Mundzir (wafat 236 H).
g.) Abu Ja‘far Muhammad ibnu Jarir Ath-Thabary (wafat 310 H).
Yang tersebut terakhir, adalah mufassir yang paling terkenal pada masa tersebut. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan di dalam Al-Itqan, “Kitab tafsir Ibnu Jarir merupakan kitab tafsir paling mulia dan teragung. Di dalam kitab tersebut, Ibnu Jarir menukil pendapat-pendapat mufassir lain, kemudian memilih pendapat yang rajih (kuat). Di samping itu, metode yang dipakai Ibnu Jarir jauh lebih baik dibanding kitab-kitab tafsir sebelumnya.”
An-Nawawi An-Naisabury (seorang ulama yang bermazhab Syafi‘i) menjelaskan di dalam kitab At-Tahzib, “Tidak ada satu kitab tafsir pun yang mampu menyamai kitab tafsir Ibnu Jarir.”
Abu Ishaq Al-Isfira'aini berkata, “Jika seseorang melakukan perjalanan ke negeri Cina, kemudian ia mendapati kitab tafsir Ibnu Jarir, maka tidak banyak ia akan mendapatinya.”
Diriwayatkan, kepada para sahabatnya, Ibnu Jarir berkata, “Apakah kalian memiliki semangat untuk mempelajari tafsir Al-Qur'an?” Mereka bertanya, “Kira-kira berapa halaman?” “Tiga puluh ribu lembar,” jawab Ibnu Jarir. Mereka menjawab, “Jika sekian jumlahnya, sebelum semuanya terbaca, tentu umur kami sudah habis.” Mendengar perkataan mereka, Ibnu Jarir kemudian meringkas tafsirnya menjadi tiga ribu lembar.
Riwayat tersebut juga disebutkan oleh As-Subki di dalam kitab At-Tabaqat.
5.) MASA ULAMA SALAFUSSALIH
Setelah peringkat keempat, lahir kelompok mufassir yang di dalam tulisan-tulisannya banyak mengandung manfaat, tetapi sanadnya tidak disebutkan. Di antara yang terkenal adalah:
a.) Abu Ishaq Az-Zujjaj Ibrahim ibnu As-Sirri An-Nahwy (wafat 310 H). Kitab tafsirnya berjudul Ma‘anil-Qur'an.
b.) Abu Ali Al-Farisy, yang terkenal sebagai hujjah dan rujukan di bidang bahasa dan balagah. Ia juga dikenal dengan tulisantulisannya di berbagai cabang ilmu. Al-Farisy wafat pada tahun 377 H.
c.) Abu Bakar Muhammad ibnu Hasan — dikenal dengan panggilan An-Naqqasy (pengukir dari Mosul). Ia wafat pada tahun 351 H.
d.) Abu Ja‘far An-Nahhas An-Nahwy dari Mesir (wafat 338 H).
e.) Makki ibnu Abi Thalib Al-Qaisy An-Nahwy dari Maroko (wafat 437 H).
f.) Abul-Abbas Ahmad ibnu Ammar Al-Mahdawy (wafat 430 H). Ia adalah seorang penulis kitab tafsir berjudul At-Tafshilul-Jami‘ Li‘ulumit-Tanzil.
Pada periode ini, banyak hal di luar pembahasan yang masuk dalam penafsiran. Ini disebabkan banyaknya pendapat yang dinukil tanpa menyebutkan sanad. Akibatnya, antara yang sahih dan cacat (tidak sahih) bercampur. Keadaan ini membuka peluang bagi pihak-pihak yang bermaksud bertindak absurd (mengada-ada) dan memalsu pendapat. Bahkan apa pun yang tersirat di dalam hatinya dapat dituangkan, tanpa harus menghubungkan dengan salafus-salih atau ulama-ulama yang menjadi panutan dalam hal ini.
Sumber : Tafsir Al-Maraghi