Konon, orang-orang Nasrani (jauh sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw.) telah melakukan kesalahan-kesalahan besar dan raja-raja mereka pun berbuat durhaka. Mereka menyembah patung-patung dan memaksa rakyatnya untuk menyembahnya. Asdar (Raja Diqyanus) mengeluarkan perintah-perintah yang mengandung ancaman, akan menghukum siapa saja yang melanggarnya. Ada beberapa pemuda yang tergolong orang-orang terpandang di kalangan kaumnya, yang hendak dipaksa oleh raja untuk menyembah patung. Bahkan raja mengancam mereka dengan pembunuhan, namun mereka tetap berpegang-teguh pada agama mereka. Maka pakaian dan perhiasan mereka pun dilucuti, tetapi raja sayang akan jiwa muda mereka. Oleh karena itu, mereka tidak segera dibunuh, dengan harapan mereka akan kembali sadar. Demikianlah, raja pergi dari satu kota ke kota lain untuk menghancurkan rakyat di sana, agar mereka kembali menyembah patung. Dan kalau mereka tidak mau, maka dibunuh.
Adapun pemuda-pemuda tadi, kemudian pergi ke sebuah gua yang dekat dari kota mereka (Efesus atau Tursus), terletak di sebuah gunung yang disebut Nikhayus. Di sana, mereka ingin beribadah kepada Allah, sehingga apabila mereka diserang oleh Diqyanus, lalu dibunuh, maka mereka akan mati dalam keadaan taat kepada Allah; demikian pikir mereka. Mereka ada tujuh orang dan ketika mereka melalui jalan menuju gua tersebut, mereka diikuti oleh seorang gembala bersama anjingnya. Lalu, duduklah mereka di sana menyembah kepada Allah. Di antara mereka, ada seseorang yang bernama Tamlikha. Dialah yang bertugas membelikan makanan dan minuman untuk mereka dan menyampaikan kepada mereka berita-berita tentang Diqyanus yang masih tetap berusaha keras mencari mereka. Apabila dia kembali dari perlawatannya dan sampai ke kota, maka para pemuda itu, dicarinya untuk dibunuh atau dipaksa bersujud kepada patung-patung. Tindakan Diqyanus seperti itu didengar oleh Tamlikha ketika dia membeli makanan untuk kawan-kawannya secara sembunyi-sembunyi. Lalu diberitahukanlah olehnya kepada mereka, sehingga mereka pun menangis. Kemudian Allah menutup mereka, lalu mereka pun tertidur. Sementara itu, Diqyanus ingat akan mereka, lalu mengancam bapak-bapak mereka kalau tidak bisa menghadirkan mereka, maka ditunjukkanlah tempat mereka berada, dengan mengatakan bahwa para pemuda itu berada di gua. Maka raja pun menuju ke tempat mereka dan gua mereka pun ditutup supaya mereka mati semua di sana. Selesailah sudah riwayat mereka sampai di sini, pikir raja.
Konon, di antara para pembantu raja terdapat dua orang laki-laki yang diam-diam menyembunyikan iman mereka. Yaitu, Pedros dan Ronas. Secara sembunyi-sembunyi, kisah tentang para pemuda itu ditulis oleh kedua orang itu pada dua buah lempengan batu, yang kemudian diletakkan dalam sebuah peti dari tembaga. Kemudian peti itu disimpan di sebuah gudang supaya menjadi pelajaran dan peringatan bagi generasi mendatang.
Kemudian berlalulah masa demi masa, silih berganti dan Diqyanus pun sudah tidak diingat lagi dan tidak ada lagi bekasnya.
Kemudian bertahtalah seorang raja yang saleh, namanya Pedros, memerintah selama 68 tahun. Waktu itu rakyatnya ber-selisih pendapat tentang kebangkitan dan kiamat, menjadi dua golongan. Segolongan mempercayai adanya kebangkitan dan kiamat, sedang yang lain kafir. Hal itu membuat raja sedih sekali, lalu bermohonlah dia kepada Allah supaya memperlihatkan kepada umat manusia suatu tanda yang dengan itu dia dapat menerangkan kepada mereka bahwa kiamat pasti datang tanpa diragukan lagi.
Dalam pada itu, terbetik dalam hati seorang penggembala bernama Uliyas, untuk memecahkan pintu gua, lalu membangun sebuah kandang untuk kambing-kambingnya. Dan tatkala pintu itu dia pecahkan, maka bangunlah para penghuni gua itu semuanya, lalu duduk dalam keadaan segar bugar. Sesudah itu mereka bangun melakukan salat. Kemudian bertanyalah sebagian kepada yang lain, “Berapa lamakah kalian tidur?” Yang lain menjawab, “Kita tidur satu hari atau setengah hari.” Sedang yang lain mengatakan, “Tuhanmulah yang lebih tahu berapa lama kalian tinggal di sini. Maka kirimlah seorang di antara kalian dengan membawa uang perakmu ini ke kota. Biarlah dia melihat makanan yang terbaik, supaya dibeli beberapa di antaranya untuk kita.” Maka pergilah Tamlikha, sebagaimana biasanya sejak dahulu untuk membelikan makanan buat kawan-kawannya itu. Dan dengan sikap lemah-lembut, bertanyalah dia secara sembunyi-sembunyi karena khawatir ketahuan Diqyanus.
Ketika berjalan, dia mendengar nama Al-Masih (Nabi Isa as.) disebut-sebut di setiap tempat. Lalu, bertanyalah dia dalam hati sambil keheranan, “Mengapakah Diqyanus tidak membantai orang-orang mukmin itu. Sementara itu, dia tetap kebingungan dan tak habis pikir. Katanya, barangkali aku sedang mimpi atau ini bukan kota kami”. Maka bertanyalah dia kepada seseorang, “Apa nama kota ini?” Dia jawab, “Efesus.” Lalu dia menghadap kepada seorang laki-laki, lalu dia berikan padanya uang peraknya untuk membeli makanan. Laki-laki itu terperanjat melihat jenis uang yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Uang itu dia bolak-balik, lalu dia berikan kepada tetangga-tetangganya. Mereka pun keheranan melihat uang tersebut. Berkatalah mereka kepadanya, “Apakah engkau temukan uang ini dari suatu simpanan? Sesungguhnya uang ini adalah uang zaman Diqyanus, sedang dia telah mati entah berapa lama.”
Tamlikha ditangkap, lalu digiring ke pemerintah kota. Pada mulanya, Tamlikha menyangka bahwa mereka menggiringnya kepada Diqyanus. Akan tetapi, setelah dia mengerti bahwa dia bukan dibawa menghadap padanya, maka hilanglah kegelisahannya dan keringlah air matanya. Kemudian bertanyalah kepadanya dua orang pejabat pemerintah kota, yaitu Arius dan Tontius, “Di manakah simpanan yang engkau temukan itu, hai pemuda?” Setelah terjadi dialog antara Tamlikha dan pejabat pemerintah itu, maka dia ceritakan kepada keduanya, riwayat tentang para pemuda dan Raja Diqyanus, dan bahwa peristiwa yang mereka alami, baru saja terjadi kemarin. “Dan kalau tuan-tuan berdua ragu terhadap pembicaraanku ini, maka di sanalah guanya. Marilah pergi bersamaku, supaya tuan-tuan bisa melihat, benarkah kata-kataku ini”. Kedua pejabat pemerintah itu pergi bersama Tamlikha hingga sampai ke pintu gua. Tamlikha ber-jalan di depan sambil menceritakan kepada mereka tentang kisahnya bersama kawan-kawannya. Kedua pejabat pemerintah itu keheran-heranan ketika mengetahui bahwa mereka telah tidur selama 309 tahun dan bahwa mereka dibangunkan kembali untuk menjadi suatu tanda kekuasaan Ilahi bagi umat manusia.
Kemudian masuklah Arius. Dilihatnya sebuah peti dari tembaga yang telah dicap dengan sebuah cap sedang di dalamnya terdapat dua lempengan batu, tertulis padanya kisah tentang para pemuda dan bagaimana mereka lari dari Diqyanus karena ingin menyelamatkan keyakinan dan agama, lalu oleh Diqyanus gua mereka ditutup dengan batu-batu.
Setelah Arius dan kawan-kawannya melihat ini, maka tersungkurlah mereka sujud kepada Allah. Lalu mereka mengirim sebuah surat kepada raja, agar segera datang sehingga tuan dapat melihat tanda kekuasaan Allah tentang pemuda-pemuda yang dibangkitkan kembali setelah tidur selama 309 tahun.
Kemudian raja berangkat diiringi oleh serombongan pem-besar kerajaannya dan penduduk kota. Sampailah mereka ke kota Efesus, yang hari itu mendadak menjadi kota yang ramai. Dan ketika raja melihat para pemuda itu, dia pun tersungkur sujud kepada Allah, kemudian dirangkulnya para pemuda itu sambil menangis. Sementara pemuda itu tetap bertasbih, kemudian ber-katalah pemuda itu kepada raja, “Selamat tinggal, wahai raja. Semoga engkau terpelihara dari kejahatan manusia dan jin.”
Sesudah itu para pemuda itu pun kembali ke tempat pem-baringan mereka dan ruh mereka pun dicabut oleh Allah kembali. Kemudian oleh raja diperintahkan supaya masing-masing pemuda itu diletakkan dalam sebuah peti dari emas. Namun ketika malam tiba, maka bermimpilah raja dalam tidurnya. Para pemuda itu berkata kepadanya, “Biarkanlah kami seperti sediakala dalam gua, biarlah kami tidur di atas tanah sampai datang hari kebangkitan.” Maka diperintahkan oleh raja agar mereka diletakkan dalam sebuah peti dari jati dan jangan seorang pun yang masuk gua untuk melihat mereka sesudah itu. Juga supaya pada pintu dibangun sebuah tempat peribadatan untuk salat orang banyak, kemudian untuk mengingat mereka dan hari itu dijadikan hari raya besar.
Itulah kisah yang oleh orang-orang Nasrani pada masa itu dijadikan sebagai dalil tentang adanya kebangkitan. Adapun Al-Qur'anul-Karim mengatakan, “Sesungguhnya ayat-ayat-Ku tentang adanya kebangkitan dan tentang adanya ruh setelah mati, tidaklah hanya terdapat pada kisah ini saja. Ayat-ayat-Ku mengenai itu, tidak terhitung karena sangat banyaknya. Maka bacalah lembaran-lembaran alam semesta ini dan janganlah kamu hanya melihat pada lembaran-lembaran Ashabul-Kahfi dan Raqim. Layangkanlah pandanganmu kepada isi seluruh alam semesta ini, bukan hanya kepada apa yang tertulis dalam kisah-kisah dan cerita-cerita, sekalipun di sana terdapat pula bukti-bukti dan ayat-ayat.
Waktu Terjadinya Kisah Ashabul Kahfi
Ibnu Katsir menegaskan, bahwa kisah Ashabul-Kahfi terjadi sebelum datang agama Nasrani, bukan sesudahnya. Jadi, tidak seperti yang diriwayatkan oleh banyak mufassir, yang percaya saja kepada berita yang didengar dari orang-orang Arab. Sebagai bukti adalah, bahwa pendeta-pendeta Yahudi juga hafal berita-berita tentang Ashabul-Kahfi itu. Bahkan mereka menaruh perhatian padanya. Menurut riwayat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, pernah orang-orang Quraisy mengirim delegasi kepada pendeta Yahudi di Madinah supaya mencari sesuatu untuk menguji Rasul saw. Mereka berpesan kepada para pendeta Yahudi itu supaya menanyakan kepada Rasul tentang berita para pemuda itu (Ashabul Kahfi), berita tentang Dzul-Qarnain, dan tentang ruh. Hal-hal itu merupakan bukti terbesar, bahwa semua berita tersebut dihafal di kalangan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan bahwa itu semua terjadi sebelum muncul agama Nasrani.
Wallahu A’lam
Sumber : Tafsir Al-Maraghi