A.) Cara Menulis Al-Qur'an
Sudah sama-sama diketahui bahwa tulisan Al-Qur'an mempunyai cara tersendiri, berlainan dengan cara yang dipakai oleh para ulama dan dikenal sebagai ilmu menulis atau ilmu imlak. Rasm Imlak ini dipakai sebagai tulisan resmi untuk seluruh kitab dan berbagai karya tulis sejak abad III H hingga sekarang.
Mengenai tulisan, Al-Qur'an (mushaf) ditulis berdasarkan Rasm Mushaf yang berlaku sejak Khalifah Utsman bin Affan. Jenis rasm tersebut dibuat oleh sekelompok sahabat terkenal, yang kemudian dikenal sebagai Rasm Uṡmani. Cara penulisannya pun berlainan dengan penulisan yang biasa dipakai. Karenanya, terdapat dua jenis tulisan yang tak bisa diidentikkan, yakni tulisan ‘Arudl dan Rasm Utsmani.
B.) Pendapat Para Ulama Mengenai Penulisan Al-Qur'an dengan Rasm Utsmani
Pendapat pertama disampaikan oleh Imam Ahmad, “Haram hukumnya menulis Al-Qur'an dengan selain Rasm Uṡmani, baik dalam penulisan wawu, ya, alif, ataupun yang lainnya.”
Abu Amrin Ad-Dany menyatakan, “Tidak ada pertentangan terkait apa yang telah diriwayatkan dari Imam Malik tentang wajibnya menulis Al-Qur'an dengan cara penulisan para ulama terdahulu, yakni tulisan pertama kali.”
Pendapat kedua, bahwa penulisan mushaf bersifat istilahi (ijtihadi) — tidak tauqifi (ajaran langsung dari Nabi). Karenanya, dibolehkan menulis mushaf dengan selain Rasm Utsmani. Di antara pendukung pendapat ini adalah Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya. Juga dipertegas oleh Al-Qadhi Abu Bakar dalam Al-Intiṣār. Menurutnya, “Tentang tulisan (rasm), Allah tidak menentukan secara pasti salah satu jenis kepada umat Islam. Begitu pula mengenai penulisan mushaf tidak seorang pun mewajibkan hanya dengan satu jenis rasm, kemudian meninggalkan yang lainnya. Sebab, wajibnya di dalam masalah ini harus didasarkan adanya perintah. Sedangkan di dalam nas-nas Al-Qur'an juga di dalam pemahamannya, tidak pernah ada ketegasan yang menunjukkan bahwa rasm dan harakat Al-Qur'an harus ditulis dengan rasm tertentu yang tak boleh dilanggar. Di dalam nas-nas As-Sunah pun tidak dijumpai perintah yang mewajibkan demikian. Ijma‘ pun tidak pernah mengemukakan dalil yang mewajibkan penulisan mushaf hanya dengan Rasm Utsmani. Juga tidak pernah ada dalil qiyas syar‘i yang menunjukkan demikian.
Bahkan sunah sendiri menunjukkan bolehnya menulis Al-Qur'an dengan rasm apa pun yang dianggap mudah. Sebab Rasulullah saw. hanya memerintahkan agar Al-Qur'an itu ditulis (tanpa menunjukkan jenis rasm, pen), dan rasul tidak pernah menunjuk rasm tertentu dan tidak melarang penulisan dengan rasm selain Rasm Utsmani.”
Karenanya, penulisan mushaf menjadi beragam. Ada yang menulis berdasarkan makhraj huruf, ada yang menambah dan mengurangi (yang dianggap tidak perlu), karena tahu bahwa itu bersifat istilahi (ijtihadi), dan setiap orang akan mengetahuinya.
Berdasarkan alasan ini, dibolehkan menulis Al-Qur'an dengan khat Kufy atau dengan Rasm Uṡmani. Penulis diperkenankan menulis huruf lam dengan bentuk hampir menyamai huruf kaf, atau melengkungkan alif, bisa juga dengan cara selain ketentuanketentuan yang sudah ada. Penulis diperkenankan menulis Al-Qur'an dengan gaya lama maupun gaya baru atau kombinasi antara dua gaya tersebut.
Ketika banyak model penulisan mushaf, kebanyakan hurufnya juga beragam, dan masyarakat membiarkannya —membiarkan setiap orang menulis Al-Qur'an sesuai kebiasaan masing-masing yang dianggap lebih mudah, masyhur dan utama tanpa takut berdosa atau bersalah— maka bisa diketahui bahwa memang tidak ada ketentuan khusus dalam penulisan, seperti ketentuan khusus dalam qirā'at Al-Qur'an dan ażan. (Dan dalam dua hal yang disebut terakhir ini, maka berdosa bagi siapa saja yang tidak sesuai dengan ketentuan).
Alasannya, rasm hanyalah tanda dan gambar-gambar yang fungsinya sama dengan isyarat, kode atau rumus-rumus. Jadi, setiap rasm atau gambar yang menunjukkan pada kalimat yang bacaannya bisa dimengerti, maka tulisan (rasm) itu sah dan boleh dipakai untuk penulisan dalam bentuk apa pun.
Kesimpulannya, siapa pun yang mengatakan bahwa menulis Al-Qur'an itu wajib dengan rasm tertentu haruslah mengajukan argumentasi — dari mana mereka mendapatkannya?
Pendapat ketiga; Penulis kitab Al-Burhan dan At-Tibyan lebih cenderung kepada pendapat yang diajukan oleh Izzud-Din ibnu Abdis-Salam. Menurutnya boleh bahkan wajib menulis mushaf yang memenuhi kepentingan kaum awam dengan istilahistilah yang mudah dikenal dan populer di kalangan mereka. Sebaliknya tidak boleh menulis mushaf dengan Rasm Utsmani periode awal untuk mereka, agar mudah dimengerti dan tidak salah menanggapinya. Dan dalam waktu yang bersamaan wajib memelihara Rasm Utsmani sebagai salah satu warisan budaya yang tidak ternilai harganya, yang datang dari orang-orang dahulu yang saleh. Memelihara warisan budaya dengan cara demikian, tidak mengabaikan kemaslahatan kaum awam. Bahkan, warisan akan tetap lestari di tangan kaum arif bijaksana dan kaum berpengetahuan yang selalu ada di setiap pelosok bumi.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini kami nukilkan pernyataan penulis kitab At-Tibyan:
“Penulisan Al-Qur'an (mushaf), seperti cara sekarang —sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat di negara-negara bagian Timur, dianggap lebih bisa terhindar dari kekeliruan di dalam membacanya.”
Namun pendapat ini ditentang oleh orang-orang Arab, karena berpegang pada pendapat Imam Malik. Ketika ditanya mengenai masalah penulisan Al-Qur'an, “Apakah Al-Qur'an ditulis dengan cara yang banyak dilakukan orang?” Imam Malik menjawab. “Tidak, kecuali dengan tulisan pertama (Rasm Utsmani).”
Penulis kitab Al-Burhān mengatakan, “Saya berpendapat demikian karena (Rasm Uṡmani) ditulis pada masa permulaan Islam, sedang ilmu (tentang Al-Qur'an) terus berkembang dan penuh dinamika, dan karenanya saat ini, dikhawatirkan terjadi banyak salah paham (pencampuradukan). Karenanya, Syaikh Izzud-Din ibnu Abdis-Salam mengatakan, “Larangan menulis Al-Qur'an (mushaf) pada saat sekarang dengan rasm pertama —menurut istilah para imam—, bertujuan agar orang awam tidak menyangka telah terjadi perubahan penulisan Al-Qur'an. Namun, larangan ini tidak boleh diberlakukan secara mutlak sehingga berimplikasi pada hilangnya ilmu. Ketetapan-ketetapan ulamaulama terdahulu tidak bisa dihilangkan begitu saja hanya karena memelihara kemaslahatan kaum awam. Bumi ini tidak akan kehilangan orang-orang yang menegakkan hujjah Allah.”
Sumber : Tafsir Al-Maraghi