Ada ungkapan bahwa Al-Qur’an diturunkan di tanah Hijaz, ditulis di Turki dan dibaca dan dipelajari di Mesir. Sepertinya, ungkapan itu ada benarnya, sebab dari daerah Mesir-lah lahir imam-imam qira’at, para ahli dalam bidang qira’at yang menjaga nilai-nilai transmisi periwayatan Al-Qur’an, salah satunya adalah Imam Warsy.
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Abdullah bin Amr bin Sulaiman bin Ibrahim, panggilannya Abu Sa’id. Leluhur beliau berasal dari daerah Qairuwan (kota yang terletak di Negara Tunisia), namun beliau lahir dan tumbuh besar di Mesir pada tahun 110 H. di kota Qaft, wilayah Shoid (dataran tinggi: pegunungan).
Dalam dunia intelektual Muslim, Imam Utsman ini lebih dikenal dengan julukan Imam Warsy, yang merupakan panggilan dari gurunya, Imam Nafi’. Menurut riwayat, julukan Warsy disematkan kepada Imam kelahiran Mesir ini dikarenakan gerak langkah beliau yang lamban. Kata warsy (ورش) berasal dari kata warasyan (ورشان) yang berarti seekor burung yang mirip merpati putih. Kata warasyan ini kemudian disingkat menjadi “Warsy”.
Sementara, sebagian riwayat lain menceritakan bahwa alasan utama disematkannya julukan Warsy kepada beliau ini karena kulit beliau yang berwarna putih. Sebab dalam bahasa Arab, kata Warsy berarti sesuatu yang dibuat dari susu.
Julukan Warsy sangat melekat dalam diri Imam Utsman, sehingga beliau tidak dikenal kecuali dengan julukan tersebut. Beliaupun sangat menyukai julukan ini. Ketika seseorang bertanya perihal julukan tersebut, beliau menjawab: “guruku yang menyematkan julukan itu”.
Dari segi fisik, beliau memiliki perawakan yang tidak terlalu tinggi, mungil, gemuk, berambut pirang, memiliki bola mata yang berwarna hijau serta warna kulit yang putih.
Perjalanan Intelektual
Pada tahun 155 H, Imam Warsy berangkat merantau ke Madinah. Keberangkatan ini bukan bertujuan untuk menunaikan ibadah haji atau berdagang, akan tetapi hanya untuk belajar qira’at kepada Imam Nafi’ yang berdomisili di sana.
Dikisahkan, bahwa Imam Warsy berangkat dari Mesir menuju Madinah untuk belajar kepada Imam Nafi’. Ketika beliau sudah sampai di Madinah, beliau langsung menuju ke masjid Imam Nafi’ untuk mengikuti pengajiannya.
Dalam pengajiannya, Imam Nafi’ hanya mengajarkan 30 ayat saja kepada murid-muridnya, karena banyaknya murid yang hadir. Melihat keadaan yang demikian, maka beliau pindah ke belakang pengajian (halaqah) dan bertanya kepada seseorang tentang murid senior Imam Nafi’ yang bisa beliau temui. Maka diantarkanlah beliau untuk menemui salah seorang murid senior Imam Nafi’ yaitu Kabir al-Ja’farain (murid senior Imam Ja’far bin Qa’qa’ yang melanjutkan belajar kepada Imam Nafi’).
Ketika bertemu dengan Kabir al-Ja’farain, beliau berkeluh kesah tentang kesulitan yang beliau alami dalam menimba ilmu kepada Imam Nafi’ dan meminta Kabir al-Ja’farain untuk bersedia menjadi perantara beliau untuk menemui Imam Nafi’. Kabir al-Ja’farain pun bersedia dengan senang hati mengantarkan beliau menemui Imam Nafi’.
Saat bertemu Imam Nafi’, Kabir al-Ja’farain menyampaikan kepada gurunya tersebut bahwa ada seseorang yang datang dari Mesir khusus untuk menimba ilmu qira’at kepada beliau tanpa ada tujuan yang lain.
Imam Nafi’ pun menerima beliau sebagai murid dan meminta kepada Imam Warsy untuk bersedia tinggal di masjid selama belajar. Karena keinginan kuat untuk belajar qiraat, dengan lapang dada beliau menerima permintaan calon gurunya tersebut untuk tinggal di masjid. Sejak saat itulah beliau secara maksimal belajar kepada Imam Nafi’.
Kepada Imam Nafi’ inilah beliau belajar Al-Qur’an dan qira’atnya, serta mengkhatamkannya berulang kali. Sebagian riwayat mengatakan bahwa beliau mengkhatamkan Al-Qur’an hingga empat kali dalam satu bulan. Dalam artian bahwa setiap minggu beliau dapat mengkhatamkan Al-Qur’an.
Setelah dirasa cukup untuk berguru kepada Imam Nafi’, beliau memutuskan untuk kembali ke kampung halaman dan mengamalkan ilmu yang beliau miliki. Keaktifan dan kepiawaian beliau dalam menyampaikan ilmu, menjadikan beliau sebagai rais qurra’ (pemuka qari’) ternama pada masanya. Tidak ada orang yang dapat menggantikan posisi dan kedalaman ilmu yang beliau miliki dalam bidang linguistik Arab dan tajwid. Imam Warsy juga memiliki suara yang memukau serta bacaan yang indah, sehingga membuat setiap orang berdecak kagum dan tidak bisa berpaling ketika mendengarkan bacaannya.
Perlu diketahui bahwa sebelum beliau belajar dan meriwayatkan qira’at Imam Nafi’, Imam Warsy adalah seorang imam qari’ di negaranya, Mesir, dan memiliki bacaan yang berbeda dengan guru beliau. Hanya saja, cuma bacaan Imam Nafi’ yang beliau ajarkan, sementara bacaan beliau sendiri tidak banyak yang meriwayatkan, sehingga tidak dikenal masyarakat dan khalayak umum.
Komentar Ulama
Imam al-Dzahabiy mengatakan: “Dia (Warsy) adalah Imam yang tsiqah dalam melafalkan huruf-huruf Al-Qur’an dan menjadi hujjah bagi generasi setelahnya”. Sedangkan dalam bidang hadits, Imam al-Dzahabiy tidak memberi komentar apapun.
Imam Al-Hafidz Abu al-’Ala’ berkata: “Imam Warsy adalah Imam yang tsiqah dan hujjah dalam bidang qira’at”.
Imam Azraq berkata: “Imam Warsy setelah mahir dalam bidang linguistik Arab, beliau mulai merintis membuka sebuah lembaga yang dikenal dengan ‘maqra’ah Warsy’.”
Murid-murid Imam Warsy
Imam Warsy memiliki murid yang tidak sedikit dalam meriwayatkan bacaannya, namun yang termasyhur adalah: Abu Ya’kub al-Azraq dan Muhammad bin Abdurrahim al-Asbahaniy.
Abu Ya’kub al-Azraq dikenal sebagai penerus yang menjaga tonggak estafet bacaan beliau yang dipelajari dari Imam Nafi’. Dalam disiplin ilmu qira’at, al-Azraq ini dikenal sebagai thariq (jalur perawi). Bacaan (riwayat Imam Warsy) ini tidak dikenal kecuali hanya di beberapa negara, seperti Maroko, Aljazair, Mauritania, sebagian Nigeria dan Sudan.
Diceritakan, bahwa Imam al-Azraq meminta kepada Imam Warsy untuk mengajarkan bacaan Imam Nafi’ secara komprehensif tanpa ada campuran dari periwayatan lain. Untuk mencapai keinginannya, al-Azraq senantiasa bersama Imam Warsy dan tinggal bersama beliau dalam kurun waktu yang cukup lama. Dalam kesempatan tersebut, al-Azraq berhasil mengkhatamkan bacaan dari qira’at Imam Nafi’ yang disetorkan kepada Imam Warsy sebanyak dua puluh kali, baik dengan bacaan pelan (tahqiq) yang dipelajari ketika berada di Masjid Abdullah, maupun bacaan cepat (hadr) yang dipelajari ketika berada di Iskandariah.
Di negeri seribu menara, Mesir, beliau menghembuskan nafas terakhir pada tahun 197 H. Tepatnya pada masa pemerintahan al-Ma’mun di usia beliau yang mencapai 87 tahun. Semoga ilmu beliau selalu mengalir kepada kita semua. Amin.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU