Allah Ta’ala berfirman dalam surah
Al-Muzammil ayat 4: “Bacalah Al-Qur’an dengan tartil”. Berkenaan dengan bunyi
ayat tersebut, Sayyidina Ali karromallãhu wajhah berkata: “Yang dinamakan
tartil ialah mengetahui makhroj atau tajwidnya huruf dan mengetahui
tempat-tempatnya waqaf”.
Telah diketahui bahwa waqof dan
tempat-tempatnya (seperti; waqof wajib, jaiz, dan ghairu jaiz) adalah sebagian
dari ilmu tartil. Dan akan dijelaskan terlebih dahulu sebagian makna istilah
dari tiap-tiap makna waqof, saktah, dan qatha’.
Waqof adalah memutus suara pada akhir
kalimat pada saat jeda bernafas di dalamnya sebagaimana umumnya dengan niat
akan memulai bacaan lagi. (Memulai bacaan bisa dilakukan; dengan memulai dari
membaca kalimat yang terdapat waqof, atau membaca kalimat sebelumnya selagi
lurus maknanya, atau memulai dengan kalimat sesudahnya).
Saktah adalah memutus suara pada
akhir kalimat dengan tanpa bernafas pada saat bukan saatnya waqof pada umumnya.
Waktu saktah kira-kira dua harakat.
Qatha’ adalah menghentikan bacaan
dengan tujuan menyelesaikan (yaitu membaca ta’awwudz setelahnya untuk memulai
bacaan selanjutnya sebagai salah satu adab membaca. Sebaiknya tidak berhenti
kecuali pada akhir ayat. Sebaiknya menjaga agar tidak memutus setelah ayat
tentang rahmat jika diiringi ayat tentang azab kecuali setelah
menyelesaikannya. Atau ayat tentang azab setelahnya terdapat ayat tentang
rahmat kecuali setelah menyelesaikannya). Dan akan dibahas pada dua tempat pada
tempat-tempat waqof berikut:
Pertama: Waqof yang memutus kalimat,
yaitu waqof yang disandarkan pada jumlah atau ayat yang sesuai makna.
Kedua: Waqof pada suatu kalimat.
Waqof Pada Tempat Berhentinya Kalimat
Salah satu sahabat berbicara di depan
Rasulullah saw. Ia berkata: “Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
sungguh ia mendapat petunjuk. Dan barangsiapa durhaka kepada keduanya” lalu ia
menghentikan perkataannya. Kemudian Rasulullah saw. berkata kepadanya:
“Berdirilah, engkau adalah sejelek-jelek pembicara, katakanlah, ‘Dan
barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia tersesat’.”
Bagi pembicara atau pembaca agar bisa
memilih tempat-tempat berhenti yang mana tempat berhentinya sudah jelas makna
yang dimaksudkan bagi pendengarnya. Adapun apabila seseorang menyalahi waqof
yang benar, maka berarti ia melakukan perkara yang dibenci dan buruk di dalam
berbicara dengan sesama manusia. Lebih-lebih di dalam berbicara dengan Allah
swt. (membaca Al-Qur’an), itu sangat dibenci dan sangat buruk. Dan menjauhi hal
itu lebih utama dan lebih benar, maka dari itu mengetahui waqof-waqof adalah
sebagian dari ilmu tartil menurut Sayyidina Ali kwh.
Syaikh Hudzali berkata di dalam kitab
Kamil-nya: Waqof adalah hiasan suatu bacaan, penghias pembaca, pelengkap
pembaca, pemaham orang yang mendengar, dan kebanggaan orang yang berilmu.
Maka, wajib bagi pembaca Al-Qur’an
agar merenungkan makna-maknanya sehingga ia mengetahui tempat-tempat yang boleh
waqof dan tempat-tempat yang tidak boleh waqof.
Atas dasar itulah, maka wajib diperhatikan
bahwasanya makna dan tadabbur adalah perkara penting, dan lafal mengikutinya.
Dan waqof pada tempat berhentinya kalimat ada 2 jenis:
1.) Jenis waqof yang diperbolehkan
yaitu waqof yang memberikan makna yang benar.
2.) Jenis waqof yang tidak
diperbolehkan yaitu waqof yang tidak memberikan makna yang benar
Waqof Yang Memberikan Makna Yang
Benar (Waqof Jaiz)
Waqof ini memiliki 3 jenis, yaitu;
waqof tam, waqof kafi, waqof hasan
1.) Waqof tam adalah waqof pada suatu
kalimat yang maknanya sudah sempurna dan tidak berkaitan lagi dengan lafal atau
makna setelahnya.
Sebagaimana diketahui, bahwa yang
lebih baik adalah dengan berhenti atau waqof dan memulai pada kalimatnya
setelahnya. Karena kalimat setelahnya tidak berkaitan dengannya. Contoh:
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
* . إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
لا يُؤْمِنُونَ .
“Mereka
itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung *. Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi
mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan
beriman.” (QS. Al-Baqarah/2: 5-6)
Selanjutnya,
waqof bayan yaitu waqof pada kalimat yang sudah jelas maknanya tetapi tidak
bisa dipahami apabila tidak waqof pada kalimat ini. Terkadang disebut juga
waqof lazim atau waqof wajib, contoh:
وَلا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ * إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا ...
“Janganlah
kamu sedih oleh perkataan mereka*. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah
kepunyaan Allah.” (QS. Yùnus/10: 65)
Sebaiknya
waqof pada kalimat (قَوْلُهُمْ *) dan memulai lagi pada kalimat (إِنَّ الْعِزَّةَ)
Selanjutnya
berkaitan dengan waqof tãm yaitu waqof jibríl yang hukumnya sunah, tatkala
Sayyidina Jibril as. waqof atau berhenti pada tempat-tempat waqof itu,
Rasulullah saw. mengikuti cara Sayyidina Jibril as. dalam waqof itu.
2.)
Waqof kafi adalah waqof pada suatu kalimat yang sudah memberikan makna yang
benar tetapi kalimatnya masih berhubungan dengan kalimat setelahnya dari segi
lafal.
Sebagaimana
diketahui bahwa yang lebih baik adalah dengan berhenti atau waqof dan memulai
pada kalimat setelahnya dikarenakan masih ada keterkaitan dari segi lafalnya.
Contoh:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ
تُنْذِرْهُمْ لا يُؤْمِنُونَ *. خَتَمَ
اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ ...
“Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu
beri peringatan, mereka tidak akan beriman *. Allah telah mengunci-mati hati
dan pendengaran mereka,..” (QS. Al-Baqarah/2: 6-7)
Dan
terkadang waqof kafi dikuatkan oleh penjelasan makna yang dimaksud, contoh:
وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ *. يُخَادِعُونَ اللَّهَ ...
“padahal
mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman*. Mereka hendak menipu
Allah…” (QS. Al-Baqarah/2: 8-9)
3.)
Waqof hasan adalah waqof pada suatu kalimat yang sudah memberikan makna yang
benar tetapi kalimatnya masih berkaitan dengan kalimat setelahnya dari segi
lafal maupun makna.
Sebagaimana
diketahui, bahwa yang lebih baik adalah berhenti atau waqof. Sedang memulai pada
kalimat setelahnya adalah khilaf. Dan disunahkan bagi orang yang waqof dengan
waqof œasan dan memulai dengan mengulangi kalimat yang dibaca waqof atau
kalimat sebelumnya hingga maknanya melekat, contoh:
اَلْحَمْدُ للهِ* رَبِّ الْعَالَمِينَ . الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Segala
puji bagi Allah*, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,” (QS.
Al-Fãtiœah/1: 1-2)
Terkadang
ada waqof atau berhenti dinilai baik dan memulai kalimat setelahnya dinilai
buruk, contoh:
يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ* وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ
...
“mereka
mengusir Rasul* dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,..” (QS.
Al-Mumtaœanah/60: 1)
Pada
ayat di atas, waqof pada lafal (الرَّسُولَ*) itu baik, namun jika memulainya lagi dari
lafal (وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا...) maka memulainya adalah buruk karena
merusak makna, yaitu menjadi menakut-nakuti (ancaman) dari iman kepada Allah
Ta’ala.
Terkadang
waqof œasan menguatkan penjelasan makna yang dimaksud, contoh:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى*
إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا...
“Apakah
kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israel sesudah Nabi Musa*, yaitu
ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: ‘Angkatlah untuk kami…” (QS.
Al-Baqarah/2: 246)