Ibtida’
bersifat ikhtiyari (sesuai
dengan keinginan). Sedangkan waqaf mungkin bisa terjadi karena idltirari
(terpaksa). Ibtida’ tidak diperbolehkan kecuali dengan kata yang secara makna
terpisah dari kata sebelumnya.
Ibtida’
ada dua macam: ibtida’ jaiz (boleh) dan ibtida’ ghoiru jaiz (tidak boleh).
Ibtida’
jaiz adalah ibtida’ dengan kata yang secara makna terpisah dari kata sebelumnya,
dimana makna yang dihendaki Allah sudah jelas, tidak ada perbedaan antara kata
dengan yang dihendaki-Nya.
Termasuk
diantara ibtida’ jaiz adalah
ibtida’ setelah waqaf yang ditentukan (tanda waqaf). Dalam Al-Quran, kata (الذي) dan(الذين) boleh ibtida’ pada kedua kata tersebut atau mewashalkannya
dengan kata sebelumnya kecuali pada tujuh tempat, yaitu:
1.) QS. Al-Baqarah/2: 120
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي
جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ*. الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ
2.) QS. Al-Baqarah/2: 145
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ*. الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ
3.) QS.
Al-Baqarah/2: 274
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً
فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ*.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا
4.) QS. At-Taubah/9: 19
وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ*. الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا
5.) QS.
Al-Furqan/25: 33
وَلا يَأْتُونَكَ
بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا*. الَّذِينَ يُحْشَرُونَ
6.) QS. Gafir/40: 6
وَكَذَلِكَ حَقَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّهُمْ
أَصْحَابُ النَّارِ*. الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ
7.) QS. An-Nas/114: 4
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ*. الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ
النَّاسِ
Pada
tujuh tempat tersebut, kata (الذي) dan (الذين) telah
ditentukan sebagai ibtida’.
Ibtida’
ghairu jaiz adalah ibtida’ yang buruk yaitu ibtida’ dengan kata
yang menghapus, merusak, atau mengubah makna yang dihendaki Allah. Ibtida’ ini
ada dua macam, yang keduanya berbeda tingkat keburukannya.
1.) Ibtida’ dengan kata yang secara lafal dan makna, masih mempunyai keterkaitan
dengan kata sebelumnya. Contoh: ibtida’ dengan kata (أبي) pada kalimat (*أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ) dalam QS.
Al-Lahab/111: 1. Ibtida’ pada kata tersebut menjadikan maknanya tidak sesuai
dengan yang dihendaki Allah.
2.) Ibtida’
dengan kata yang bisa mendatangkan makna yang berbeda dengan yang dihendaki
Allah atau dengan kata yang memberikan makna yang bertentangan aqidah. Contoh:
ibtida’ dengan kata (اِتَّخَذَ) pada pertengahan lafal (وَقَالُوا*
اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا) dalam QS. Al-Baqarah/2: 116
Terkadang
ada kata yang di situ tidak boleh waqaf dan juga tidak boleh ibtida’. Ada pula
kata yang bila waqaf di situ dinilai baik tapi tidak boleh ibtida’ dengan kata
tersebut.
Akhir
Ayat
Para
ulama sepakat bahwa waqaf di akhir ayat hukumnya sunah. Akan tetapi mereka
berbeda pendapat pada akhir ayat-ayat tertentu. Sebagian memperbolehkan waqaf,
sebagian melarang. Menjaga kesempurnaan makna adalah yang paling utama dalam
masalah waqaf dan ibtida’.
|
Contoh Mushaf Al-Qur'an Disertai Dengan Ibtida' |
Memulai (Ibtida’) Dengan Kata
1.) Tidak boleh ibtida’ kecuali dari
huruf pertama dalam setiap kata yang tertulis.
2.) Tidak boleh ibtida’ kecuali dengan
huruf yang berharakat.
Hamzah qatha’ adalah hamzah pada permulaan kata yang ditulis dalam
bentuk alif dan selamanya terbaca sebagai hamzah.
Hamzah washal
adalah hamzah pada permulaan kata yang ditulis dalam bentuk alif yang dibaca
sebagai hamzah ketika dijadikan ibtida’ dan tidak dibaca ketika berada di tengah
bacaan.
Ketika
kata yang huruf awalnya berupa hamzah washal bersambung dengan kata sebelumnya
yang berakhiran huruf sukun (seperti huruf nun sukun dari tanwin pada huruf
akhir sebuah kata), maka huruf sukun tersebut diberi harakat kasrah karena
adanya iltiqaus sakinain (bertemunya dua huruf sukun). Sedangkan hamzah washal
pada kata berikutnya, secara lafal tidak terbaca. Contoh:
1.) Pada QS. Al-Ikhlas/112: 1-2 (قُلْ هُوَ اللَّهُ
أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ), ada nun sukun dari tanwin kata (أَحَدٌ) bertemu dengan hamzah washal dari kata (اللهُ). Oleh karenanya, cara membacanya adalah seperti ini: (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدُ نِلَّاهُ الصَّمَدُ)
2.) Begitu
juga pada QS. Al-Baqarah/2:173 (فَمَنْ اضْطُرَّ) dibaca (فَمَنِضْطُرَّ) dan pada QS. Qaf/50: 33 (مُنِيْبٌ ادْخُلُوْهَا) dibaca (مُنِيْبِـنِدْخُلُوْهَا).
Waqaf Pada Satu Kata
1.) Tidak diperbolehkan waqaf kecuali pada huruf akhir suatu
kata. Kata (فَأَسْقَيْنٰكُمُوْهُ) pada QS. Al-Hijr/15: 22 adalah satu kata. Pada kata tersebut,
tidak boleh waqaf kecuali pada huruf ha’ (ه) yang berada di akhir kata. Begitu juga kata (لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ) pada QS. An-Nur/24: 55 dan kata (أَنُلْزِمُكُمُوْهَا) pada QS. Hud/11: 28. Masing-masing dari keduanya
dianggap satu kata. Oleh karenanya, tidak boleh waqaf kecuali pada huruf
terakhir.
2.) Sesungguhnya
dalam Al-Qur’an ada beberapa kata yang penulisannya digabungkan menjadi satu,
sehingga tidak diperbolehkan waqaf pada satu kata tanpa membaca yang lain.
Gabungan kata tersebut dianggap satu kata dan hanya diperbolehkan waqaf pada
bagian akhir gabungan kata tersebut. Contoh: kata (وَيْكَأَنَّ) pada QS. Al-Qashash/28: 82, dianggap satu kata dan waqafnya pada
huruf nun (ن). Juga kata (يَبْنَؤُمَّ) pada QS. Thaha/20: 94, dianggap satu kata dan tidak boleh waqaf
kecuali pada huruf akhir, yaitu mim (م). Contoh seperti ini ada banyak dalam Al-Qur’an.