Tersebarnya Riwayat Hafsh
Banyak dibicarakan oleh komunitas Al-Qur’an baik di dunia Arab atau lainnya tentang penyebab tersebarnya riwayat Hafsh di dunia Islam. Sebagian kalangan mengatakan bahwa pemerintahan Turki Usmani (sekitar 922 H/1516 M) mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam hal ini, yaitu melalui kekuatan politik kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Turki Usmani pada saat mencetak mushaf, mereka memilih bacaan riwayat Hafsh. Lalu mereka kembangkan bacaan riwayat ini ke seluruh negeri. Namun pendapat ini dibantah oleh Ghanim Qadduri al-Hamd. Dia mengatakan bahwa riwayat Hafsh sebenarnya telah menyebar di beberapa tempat. Kemudian Ghanim menyebutkan perkataan Abu Hayyan dalam tafsirnya “al-Bahr al-Muhith”: tentang riwayat Warsy dan ‘Ashim :
وهى (رواية ورش ) الرواية التى تنشأ عنها ببلادنا ( الأندلس ) ونتعلمها فى المكتب . وقال عن قراءة عاصم : وهى القراءة التى ينشأ عليها أهل العراق ( البحر۱ ص ۱۱٥)
“Riwayat Warsy sudah menyebar di negeri Andalus dan diajarkan di maktab-maktab, sedang riwayat ‘Ashim disebarkan di negeri Andalus ini oleh Penduduk Irak.”
Ghanim kemudian merujuk kepada perkataan Muhammad al-Mar’asyi yang hidup pada abad ke 12 H (w. 1150 H) yang disebut juga dengan Savhaqli Zadah:
والمأخوذ فى ديارنا ( عش مدينة فى جنوب تركيا الآن ) قراءة عاصم برواية حفص عنه
“Yang dijadikan patokan di negeri kami (Turki) adalah bacaan ‘Ashim riwayat Hafsh.”
Dalam pandangan penulis ada beberapa penyebab tentang menyebarnya riwayat Hafsh. Ada yang berupa faktor alamiah yaitu riwayat tersebut mengalir dan menyebar dengan sendirinya seperti mengalirnya air sebagaimana juga tersebarnya madzhab-madzhab fikih, dan ada juga faktor ilmiah yaitu dilihat dari materi bacaan Hafsh itu sendiri.
Secara garis besar bisa penulis rangkum sebagai berikut :
1.) Jika dilihat dari segi materi ilmiah, maka riwayat Hafsh adalah riwayat yang relatif mudah dibaca bagi orang yang non-Arab mengingat beberapa hal :
Pertama : tidak banyak bacaan Imalah, kecuali pada kata : (مجرىها ) pada surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah, Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amr dan Warsy yang banyak membaca Imalah.
Kedua : tidak ada bacaan Shilah Mim Jama’ sebagaimana apa yang kita lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan Shilah membutuhkan kecermatan bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda tertulisnya.
Ketiga : Dalam membaca Mad Muttashil dan Munfashil, bacaan riwayat Hafsh terutama thariq Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang panjang. Bahkan dalam thariq Thayyibah, yaitu yang melalui jalur ‘Amr bin ash-Shabbah thariq Zar’an dan al-Fil bacaan Hafsh dalam Mad Munfashil bisa Qashr (2 harakat).
Keempat : dalam membaca Hamzah baik yang bertemu dalam satu kalimah atau pada dua kalimah, baik berharakat atau sukun, riwayat Hafsh cenderung membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan tekanan suara dan nafas yang kuat, sehingga terkesan kasar. Hal ini berbeda dengan bacaan Nafi’ melalui riwayat Warsy, Qalun. Bacaan Abu ‘Amr melalui riwayat ad-Duri dan as-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat al-Bazzi dan Qunbul yang banyak merubah bacaan Hamzah menjadi bacaan yang lunak. Contohnya adalah pada Hamzah sakinah atau jika ada dua Hamzah bertemu dalam satu kalimah atau dua kalimah. Imam Hafsh mempunyai bacaan tashil baina baina hanya pada satu tempat saja yaitu pada kalimat : ءأعجمى pada surah Fushshilat : 44.
Kelima : Hafsh mempunyai bacaan Isymam hanya pada satu tempat yaitu pada kata : لا تأمنا sebagaimana juga bacaan imam lainnya selain Abu Ja’far. Keenam: Hafsh mempunyai bacaan Mad Shilah Qashirah hanya pada kalimat : ويخلد فيه مهانا pada surah al-Furqan: 69. Hal ini berbeda dengan bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca Shilah Ha’ Kinayah.
2.) Jika dilihat dari awal kemunculan bacaan ‘Ashim yaitu di Kufah atau Iraq, secara politis, negeri Kufah (Iraq) adalah negerinya pengikut Ali (Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara kepada sahabat Ali. Kemudian Negeri Baghdad, dimana Hafsh pernah mengajar disini, adalah Ibukota negara (Abbasiyyah) pada masa itu, pusat kegiatan ilmiah, sehingga penyebarannya relatif lebih mudah. Jika kemudian Hafsh bermukim di Mekah kiblat kaum Muslimin yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru dunia dan mengajar Al-Qur’an di sini, maka bisa dibayangkan pengaruh bacaannya.
Penulis juga melihat adanya hubungan yang cukup signifikan antara madzhab fikih dan Qira’at. Sebagai contoh: riwayat Warsy adalah riwayat yang banyak diikuti oleh masyarakat di Afrika Utara. Di sana madzhab fikih yang banyak dianut adalah madzhab Maliki. Masa hidup Imam Malik adalah sama dengan masa hidup Imam Nafi’. Keduanya di Madinah. Bisa jadi pada saat masyarakat Afrika Utara berkunjung ke Madinah untuk haji atau lainnya, mereka belajar fikih kepada Imam Malik dan belajar Qira’atnya kepada Imam Nafi’. Kita tahu bahwa Hafsh pernah bermukim dan mengajar Al-Qur’an di Mekah. Imam Syafi’i juga hidup di Mekah. Boleh jadi pada saat hidupnya kedua Imam tersebut kaum Muslimin memilih madzhab kedua Imam tersebut. Kemudian jika kita melihat sanad bacaan riwayat Hafsh pada guru-guru dari Indonesia, semisal sanad Kiai Munawwir Krapyak, akan kita jumpai banyak ulama madzhab Syafi’i pada sanad tersebut, seperti Zakariyya al-Anshari dan lain sebagainya.
3.) Hafsh mempunyai jam mengajar yang demikian lama, sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Jazari sehingga murid-muridnya bertebaran di berbagai tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu lama mengajar.
4.) Hafsh dianggap sebagai perawi Imam ‘Ashim yang demikian piawai dan menguasai terhadap bacaan gurunya. Sebagaimana diketahui Hafsh adalah murid yang sangat setia pada ‘Ashim. Mengulang bacaan berkali-kali, dan menyebarkan bacaan ‘Ashim di beberapa negeri dalam rentang waktu yang demikian lama. Makki al-Qaisi menyebutkan bahwa ‘Ashim mempunyai kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat dan para perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya).
5.) Ghanim Qadduri al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf pertama yang dicetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M/1106 H, diharakati dengan bacaan Hafsh yang ada di perpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri Islam. Hal ini mempunyai banyak pengaruh pada masyarakat, dimana mereka menginginkan adanya mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat Islam pada saat itu. Bahkan Blacher, seorang orientalis yang cukup terkemuka dalam bidang studi Al-Qur’an pernah mengatakan :
ان الجماعة الاسلامية لن تعترف فى المستقبل الا بقراءة حفص عن عاصم
“Kaum Muslimin pada masa yang akan datang tidak akan menggunakan bacaan Al-Qur’an kecuali dengan riwayat Hafsh dari ‘Ashim.”
Pernyataan Blacher yang pasti didahului oleh pengamatan yang seksama, jelas menggambarkan kecenderungan masyarakat di dunia Islam pada saat itu dan pada masa yang akan datang sehingga dia bisa memastikan hal tersebut.
6.) Ghanim Qadduri juga menyebutkan dengan melansir dari kitab “Tarikh Al-Qur’an” karya Muhammad Thahir Kurdi, bahwa penulis mushaf yang sangat terkenal pada masa pemerintahan Turki Usmani, adalah al-Hafizh Usman (w. 1110 H). Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf dengan tangannya sendiri, sebanyak 25 mushaf. Dari mushaf yang diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri. Penulis melihat bagaimana hubungan antara keahlian menulis mushaf dengan khat yang indah bisa menjadi unsur yang cukup signifikan dalam penyebaran satu riwayat. Jika kemudian pemerintah Turki Usmani mencetak mushaf sendiri, dan menyebarkannya ke seantero negeri kekuasaannya, maka hal itu akan menambah pesatnya riwayat Hafsh. Dari sini penulis melihat adanya hubungan antara kekuasaan politik dengan penyebaran satu ideologi tertentu.
7.) Peranan para qari’, guru, imam salat, dan radio, kaset, televisi, juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa rekaman suara pertama di dunia Islam adalah suaranya Mahmud Khalil al-Hushari atas inisiatif dari Labib Sa’id sebagaimana diceritakannya sendiri pada kitabnya “al-Mushaf al-Murattal atau al-Jam’ash Shauti al-Awwal” rekaman ini dengan riwayat Hafsh thariq asy-Syathibiyyah. Suara yang bagus melalui teknologi yang canggih ikut memengaruhi satu bacaan.
8.) Lebih dari penyebab lahiriah dari penyebaran riwayat Hafsh, kita tidak boleh melupakan adanya penyebab “maknawiyyah” atau faktor “berkah” atau bisa kita katakan faktor “x” pada diri Hafsh. Unsur-unsur spiritual seperti kesalehan, keikhlasan, ketekunan, pengorbanan Hafsh dalam mengabdi kepada Al-Qur’an ikut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat bahkan madzhab fikih atau lainnya.
Penutup
Riwayat Hafsh telah menjadi femomena tersendiri dalam penyebaran satu riwayat dalam Qira’at. Riwayat Hafsh akan terus melebar dan menyebar ke seantero dunia, bahkan ke negeri-negeri yang menggunakan riwayat lain seperti Warsy, Qalun, ad-Duri dan lain-lainnya, sesuai dengan hukum kemasyarakatan.
Dengan semakin menyebarnya riwayat ini, kedudukan Al-Qur’an menjadi semakin kokoh, keorisinilan bacaan Al-Qur’an dan mushaf Al-Qur’an menjadi semakin meyakinkan. Meredupnya riwayat lain bukan berarti meredupnya kemutawatiran satu bacaan. Bacaan-bacaan tersebut masih tetap mutawatir karena telah diakui oleh para imam-imam Qira’at terdahulu. Nabi sendiri tidak mewajibkan membaca Al-Qur’an dengan seluruh macam bacaan yang pernah diajarkannya kepada para sahabat-sahabatnya. Tapi Nabi hanya menyuruh para sahabatnya untuk membaca bacaan yang mudah baginya. Dengan demikian Al-Qur’an akan tetap terjaga kemurniannya sampai akhir zaman nanti. Itu pertanda bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah.