Pasal ke-15:
Hendaklah dia mempunyai majlis atau ruang kelas yang luas supaya murid-murid boleh duduk di situ. Dalam hadits dari Nabi saw., beliau bersabda: “Sebaik-baik majlis ialah yang paling luas.” (Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya). Hadits itu telah disebutkan di awal kitab Al-Adab dengan isnad sahih riwayat Abu Said Al-Khudri ra.
Pasal ke-16:
Adab pelajar dan penuntut ilmu. Semua yang saya sebutkan berkenaan dengan adab pengajar (guru) juga merupakan adab bagi pelajar. Termasuk adab pelajar ialah melakukan hal-hal yang menyibukkan dalam belajar sehingga bisa memusatkan perhatian untuk belajar, kecuali hal yang mesti dilakukan karena keperluan. Hendaklah dia membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran dosa supaya dapat menerima Al-Qur’an, menghafal dan mengamalkannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika daging itu baik, maka seluruh tubuh akan menjadi baik. Jika daging itu rusak, maka seluruh tubuh akan menjadi rusak. Ingatlah, daging itu ialah hati.”
Sungguh baik perkataan orang yang mengatakan: “Hati itu menjadi baik dengan ilmu sebagaimana bumi menjadi baik karena dijadikan pertanian (diolah dengan baik).”
Hendaklah pelajar bersikap rendah hati terhadap gurunya dan sopan kepadanya, meskipun lebih muda, kurang terkenal dan lebih rendah nasab dan keturunannya daripada dia. Hendaklah pelajar bersikap rendah hati dalam menuntut ilmu. Dengan sikapnya yang rendah hati itu dia akan mendapat ilmu (barokah).
Seorang penyair menendangkan sebuah syair: Ilmu itu tidak akan dapat diraih oleh pemuda yang suka menyombongkan diri, sebagaimana air bah tidak akan dapat mencapai tempat yang tinggi. Pelajar harus patuh kepada gurunya dan membicarakan dengannya tentang urusan ilmu. Dia terima perkataannya seperti orang sakit yang menerima nasihat dokter yang menasihati dan mempunyai keahlian, maka yang demikian itu lebih utama.
Pasal ke-17:
Janganlah seorang pelajar belajar kecuali dari orang yang sempurna ilmunya (alim), menonjol keagamaannya, jelas pengetahuannya dan dikenal bersih jati dirinya.
Muhammad bin Sirin dan Malik bin Anas serta para ulama salaf lainnya berkata: “Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu.”
Pelajar harus memuliakan gurunya dan meyakini kesempurnaan ilmunya dan meyakini keunggulan gurunya di atas golongannya, karena hal itu lebih dekat untuk mendapat manfaat dari padanya.
Sebagian ulama masa lalu (ulama Mutaqaddimin) apabila pergi kepada gurunya, dia sedekahkan sesuatu seraya berkata: “Ya Allah, tutupilah keburukan guruku dariku dan jangan hilangkan keberkahan ilmunya dariku.”
Rabi, sahabat Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tidak berani minum air, ketika Asy-Syafi’i memandang kepadaku karena kewibawaannya.”
Telah diriwayatkan yang bersumber dari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib ra, dia berkata: “Termasuk kewajibanmu terhadap guru ialah engkau memberi salam kepada orang-orang secara umum dan mengkhususkannya dengan suatu penghormatan. Hendaklah engkau duduk di depannya dan tidak memberi isyarat di dekatnya dengan tanganmu ataupun mengedipkan kedua matamu (sebagai penghormatan kepadanya).”
Janganlah engkau katakan, si fulan berkata lain dari yang engkau katakan. Jangan mengumpat seseorang di dekatnya dan jangan bermusyawarah dengan kawan dudukmu di majlisnya. Jangan memegang bajunya jika dia hendak berdiri, jangan mendesaknya jika dia malas dan jangan merasa bosan karena lama bergaul dengannya. Sudah seharusnya seorang pelajar melaksanakan adab-adab yang ditunjukkan oleh Allah swt.
Hendaklah pelajar menolak umpatan terhadap gurunya jika dia mampu. Jika tidak mampu menolaknya, hendaklah dia tinggalkan majlis itu.
Pasal ke-18:
Hendaklah pelajar masuk ke ruang/majlis gurunya dalam keadaan memiliki sifat-sifat sempurna sebagaimana yang saya sebutkan. Antara lain dengan bersuci menggunakan siwak dan membersihkan hati dari hal-hal yang menyibukkan. Janganlah dia masuk sebelum minta izin jika gurunya berada di suatu tempat yang perlu minta izin untuk memasukinya. Hendaklah pelajar memberi salam kepada para hadirin ketika masuk dan mengkhususkan kepada gurunya dengan penghormatan tertentu. Dia memberi salam kepada gurunya dan kepada mereka ketika dia pergi sebagaimana disebut di dalam hadits: “Bukanlah salam yang pertama itu lebih baik daripada yang kedua?”
Janganlah dia melangkahi bahu orang lain, tetapi hendaklah dia duduk di mana tempat majlis berakhir, kecuali jika guru mengizinkan baginya untuk maju atau dia ketahui dari keadaan mereka bahwa mereka lebih menyukai hal itu. Janganlah dia menyuruh seseorang berdiri dari tempatnya. Jika orang lain mengutamakannya, jangan diterima, sesuai dengan sikap Umar ra., kecuali jika dengan mengikutinya terdapat maslahat bagi orang-orang yang hadir atau guru menyuruhnya berbuat demikian.
Janganlah dia duduk di tengah halaqah (majlis), kecuali jika ada keperluan. Janganlah duduk diantara dua kawan tanpa izin keduanya. Tetapi jika keduanya memberikan tempat duduk untuknya, maka dia boleh duduk menempati tempatnya.
Pasal ke-19:
Hendaklah dia menunjukkan adab terhadap kawan-kawannya dan orang-orang yang menghadiri majlis guru itu. Hal itu merupakan sikap sopan terhadap guru dan pemeliharaan terhadap majlisnya. Dia duduk di hadapan guru dengan cara duduk sebagai seorang pelajar, bukan cara duduknya guru.
Janganlah dia mengeraskan suaranya tanpa keperluan, jangan tertawa, jangan banyak berbicara tanpa keperluan, jangan bermain-main dengan tangannya ataupun lainnya. Jangan menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa keperluan, tetapi menghadaplah kepada guru dan mendengar setiap perkataan gurunya.
Pasal ke-20:
Perkara lain yang perlu diperhatikan ialah tidak belajar kepada guru dalam keadaan hati guru sedang sibuk dan dilanda kesusahan, ketakutan, kesedihan, kegembiraan, kehausan, mengantuk, kegelisahan dan hal-hal lain yang dapat menghalangi guru untuk dapat mengajar dengan baik dan serius.
Hendaklah dia manfaatkan waktu-waktu di mana gurunya dalam keadaan longgar. Termasuk sebagian dari adabnya ialah menahan ketegasan guru dan keburukan akhlaknya. Janganlah hal itu menghalangnya untuk menzaliminya dan meyakini kesempurnaannya. Hendaklah dia menafsirkan perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan dhahir gurunya yang kelihatan tidak baik dengan tafsir-tafsir yang baik. Tidaklah boleh melakukan itu kecuali orang yang mendapat sedikit taufik atau tidak mendapatnya. Jika gurunya berlaku kasar; hendaklah dia yang lebih dahulu meminta maaf dengan mengemukakan alasan kepada guru dan menunjukkan bahwa dialah yang patut dipersalahkan. Hal itu lebih bermanfaat baginya di dunia dan akhirat serta lebih membersihkan hati guru.
Mereka berkata: “Barangsiapa tidak sabar menghadapi kehinaan ketika belajar, maka sepanjang hidupnya tetap dalam kebodohan. Dan barangsiapa yang sabar menghadapinya, maka dia akan mendapat kemuliaan di dunia dan akhirat.” Senada dengan nasihat itu ialah atsar yang masyhur dari Ibnu Abbas ra.: “Aku menjadi hina sebagai pelajar dan menjadi mulia sebagai guru.”
Alangkah indahnya untaian penyair berikut ini: “Barangsiapa tidak tahan merasakan kehinaan sesaat (menjadi pelajar), Maka dia akan melalui seluruh hidupnya dalam keadaan hina”.
Pasal ke-21:
Termasuk adab pelajar yang amat ditekankan ialah gemar dan tekun menuntut ilmu pada setiap waktu yang dapat dimanfaatkannya dan tidak puas dengan yang sedikit sedangkan dia bisa belajar banyak.
Janganlah dia memaksakan dirinya melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya supaya tidak jemu dan hilang apa yang diperolehnya. Ini sesuai dengan perbedaan manusia dan keadaan mereka. Jika tiba di majlis guru dan tidak menemukannya, dia mesti menunggu dan tetap tinggal di pintunya.
Janganlah meninggalkan tugasnya, kecuali jika dia takut gurunya tidak menyukai hal itu dengan mengetahui bahwa gurunya mengajar dalam waktu tertentu dan tidak mengajar di waktu lainnya.
Jika menemui guru sedang tidur atau sibuk dengan sesuatu yang penting, janganlah dia minta izin untuk masuk, tetapi bersabar sampai dia bangun dari tidurnya atau selesai dari kesibukkannya.
Bersabar lebih utama sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Abbas ra. dan lainnya. Hendaklah dia mendorong dirinya dengan berijtihad dalam menuntut ilmu ketika lapang, dalam keadaan giat dan kuat, cerdas pikiran dan sedikit kesibukkan sebelum nampak tanda-tanda ketidakmampuan dan sebelum mencapai kedudukan yang tinggi.
Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab ra. berkata: “Tuntutlah ilmu sebelum kamu menjadi pemimpin. Yakni berijtihadlah dengan segenap kemampuanmu ketika kamu menjadi pengikut atau sebelum menjadi pemimpin yang diakui, kamu akan enggan belajar lantaran kedudukanmu yang tinggi dan pekerjaanmu yang banyak”.
Inilah makna perkataan Imam Asy-Syafi’i ra.: “Tuntutlah ilmu sebelum engkau menjadi pemimpin. Jika engkau sudah menjadi pemimpin, maka tiada lagi waktu untuk menuntut ilmu.”
Pasal ke-22:
Hendaklah dia pergi kepada gurunya untuk belajar di pagi hari berdasarkan hadits Nabi saw.: “Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi hari.”
Hendaklah dia memelihara hafalannya dan tidak mengutamakan orang lain pada waktu gilirannya karena mengutamakan orang lain dalam hal ibadah adalah makruh. Lain halnya dengan kesenangan nafsu, maka hal itu disukai. Jika guru melihat adanya maslahat dalam mengutamakan orang lain pada suatu makna syar’i, kemudian menasihatinya agar berbuat sedemikian, maka dia perlu mematuhi perintahnya.
Di antara yang wajib dan wasiat yang ditekankan daripadanya ialah jangan iri hati kepada kawannya atau lainnya atau suatu keutamaan yang dianugerahkan Allah swt. kepadanya dan jangan membanggakan dirinya atas sesuatu yang diistimewakan Allah swt. baginya.
Cara menghilangkan kebanggaan diri ialah dengan mengingatkan dirinya bahwa dia tidak mencapai hal itu dengan daya dan kekuatannya, tetapi merupakan anugerah dari Allah swt. Tidaklah patut dia membanggakan sesuatu yang tidak diciptakannya, tetapi diamanahkan oleh Allah swt. padanya.
Cara untuk menghilangkan iri hati ialah dengan menyadari bahwa hikmah Allah swt., menghendaki untuk memberikan keutamaan tertentu kepada orang yang dikehendaki-Nya. Maka patutlah dia tidak menyanggahnya dan tidak membenci hikmah yang sudah ditetapkan Allah swt.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Sumber: Kitab At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an karya Syaikh An-Nawawi Ad-Dimasyqi
Baca juga: