Pasal ke-5:
Seorang pengajar sudah sepatutnya bersikap lemah-lembut kepada orang yang belajar kepadanya dan menyambutnya serta berbuat baik kepadanya sesuai dengan keadaannya.
Kami telah meriwayatkan dari Abu Harun Al-Abdi, katanya: “Kami mendatangi Abu Said Al-Khudri ra, kemudian katanya: ‘Selamat datang dengan wasiat Rasulullah saw., sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Orang-orang akan mengikuti kamu dan ada orang-orang yang datang kepada kamu dari berbagai penjuru bumi belajar ilmu agama. Jika mereka datang kepadamu, berwasiatlah kamu kepada mereka dengan baik.” (Riwayat Tirnidzi dan Ibnu Majah dan lainnya). Telah kami terima riwayat seperti itu dalam Musnad Ad-Darimi dari Abu Darda’ ra.
Pasal ke-6:
Seorang guru harus memberikan nasihat bagi mereka, karena Rasulullah saw bersabda: “Agama itu nasihat, bagi Allah swt, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin muslimin dan orang awam di antara mereka.” (Riwayat Muslim)
Termasuk nasihat bagi Allah swt. dan Kitab-Nya ialah memuliakan pembaca Al-Qur’an dan pelajarnya, membimbingnya kepada kebaikan, bersikap lemah-lembut kepadanya dan membantunya untuk mempelajarinya sedapat mungkin serta membujuk hati pelajar di samping bersikap mudah ketika mengajarinya, bersikap lemah-lembut kepadanya dan mendorongnya untuk belajar.
Hendaklah dia mengingatkannya akan keutamaan hal itu untuk membangkitkan kegiatannya dan menambah kecintaannya, membuatnya zuhud terhadap kesenangan dunia dan menjauhkan dari kecondongan serta mencegahnya agar tidak terpedaya olehnya.
Seorang guru hendaklah mengingatkan dia akan keutamaan menyibukkan diri dengan mengkaji Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syari’ah lainnya. Itu adalah jalan orang-orang yang teguh dan arif serta hamba-hamba Allah yang sholeh dan itu adalah derajat para nabi, mudah-mudahan sholawat dan salam Allah swt tetap atas mereka.
Hendaklah seorang guru menyayangi muridnya dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatannya seperti perhatiannya terhadap kebaikan-kebaikan anak-anak dan dirinya sendiri.
Dan hendaklah murid itu diperlakukan seperti anaknya sendiri yang harus disayangi dan diperhatikan akan kebaikannya, sabar menghadapi gangguan dan kelakuannya yang buruk. Dan memaafkan atas kelakuannya yang kurang baik dalam satu waktu, karena manusia cenderung berbuat kesalahan dan tidak sempurna, lebih-lebih lagi jika mereka masih kecil.
Sudah sepatutnya guru menyukai kebaikan baginya sebagaimana dia menyukai kebaikan bagi dirinya dan tidak menyukai kekurangan baginya secara mutlak sebagaimana dia tidak menyukai bagi dirinya.
Terdapat riwayat di dalam Shahihain dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda: “Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Orang yang termulia di sisiku adalah kawan dudukku yang melangkah melalui diantara manusia hingga dia duduk menghadapku. Seandainya aku sanggup mencegah lalat hinggap di wajahnya, niscaya aku melakukannya.”
Dalam suatu riwayat: “Sungguh lalat yang hinggap di atasnya menggangguku.”
Pasal ke-7:
Sudah sepatutnya guru tidak menyombongkan diri kepada para pelajar, tetapi bersikap lemah-lembut dan rendah hati terhadap mereka.
Telah banyak keterangan berkenaan dengan tawadhu’ terhadap manusia. Maka bagaimana pula terhadap mereka ini yang seperti anak-anaknya di samping kesibukan mereka dengan Al-Qur’an dan hak pergaulannya pada mereka dan keseringan mereka datang kepadanya.
Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda “Bersikaplah lemah-lembut kepada orang yang kamu ajari dan kepada guru yang mengajar kamu.”
Diriwayatkan dari Abu Ayub As-Sakhtiyani rahimahullah, katanya: “Patutlah orang yang alim meletakkan tanah di atas kepalanya karena merendah diri terhadap Allah Azza wa Jalla.”
Pasal ke-8:
Sudah sepatutnya pelajar dididik secara bertahap dengan adab-adab yang luhur dan perilaku yang baik serta dilatih dirinya atas perkara-perkara kecil yang terpuji.
Hendaklah guru membiasakan diri memelihara diri dalam semua urusan yang dhahir dan batin di samping mendorongnya dengan perkataan dan perbuatan yang berulangkali untuk menunjukkan keikhlasan dan berlaku benar serta memiliki niat yang baik serta memperhatikan Allah swt. pada setiap saat.
Hendaklah guru memberitahu kepada pelajar bahwa dengan sebab itu terbukalah cahaya ma’rifat di atasnya, dadanya menjadi lapang, memancar dari hatinya sumber-sumber hikmah dan pengetahuan, Allah swt. akan memberikan barokah pada ilmu dan perbuatannya dan memberikan petunjuk pada setiap perbuatan dan perkataannya.
Pasal ke-9:
Mengajari para pelajar adalah fardu kifayah. Jika tidak ada orang yang mampu kecuali seorang maka wajiblah baginya. Jika ada beberapa orang yang setengah dari mereka bisa mengajar tetapi mereka menolak, maka mereka berdosa. Jika setengah dari mereka mengerjakannya, gugurlah tanggung jawab dari yang selainnya. Jika salah seorang dari mereka diminta sedang dia menolak, maka pendapat yang lebih tepat ialah dia tidak berdosa, tetapi dihukumkan makruh ke atasnya jika tidak ada halangan.
Pasal ke-10:
Diutamakan bagi pengajar agar mementingkan pengajaran mereka dengan melebihkannya di atas kemaslahatan dirinya yang bersifat duniawi yang bukan keperluan utama/asas yang sangat mendesak. Hendaklah dia mengosongkan hatinya dari segala hal yang menyibukkannya, ketika dia duduk untuk mengajari mereka. Hendaklah dia berusaha keras menjadikan mereka mengerti dan memberi masing-masing dari mereka memperoleh bagian yang layak atasnya. Maka janganlah dia mengajari banyak pelajaran kepada pelajar yang kecerdasannya rendah dan jangan meringkas pelajaran bagi siapa yang menonjol kecerdasannya, selama tidak dibimbingkan akan terjadi fitnah ke atasnya karena timbul rasa bangga atau lainnya.
Siapa yang kurang memperhatikan pelajaran, seorang guru bisa menegurnya dengan lemah-lembut agar murid tidak takut atau lari daripadanya. Janganlah dengki kepada salah seorang dari mereka karena kepandaian yang menonjol dan jangan mengganggap dirinya istimewa karena nikmat yang dianugerahkan Allah swt kepadanya. Karena kedengkian kepada orang lain sangat diharamkan, apalagi terhadap pelajar yang memiliki kedudukan seperti anak. Kepandaiannya adalah atas jasa gurunya yang mendapat pahala yang banyak di akhirat dan pujian yang baik didunia. Hanya Allah Yang memberi taufik.
Pasal ke-11:
Jika jumlah mereka banyak, maka dahulukan yang pertama, kemudian yang berikutnya. Jika yang pertama rela gurunya mendahulukan lainnya, maka bisa mendahulukannya. Patutlah guru menunjukkan kegembiraan dan muka yang berseri-seri, memeriksa kondisi dan keadaan mereka serta menanyakan siapa yang tidak hadir dari mereka.
Pasal ke-12:
Para ulama berkata: “Janganlah guru menolak mengajari seseorang karena niatnya tidak benar.”
Sufyan Ats-Tsauri dan yang lain bertanya berkenaan dengan niat murid-murid yang menuntut ilmu kepadanya. Mereka berkata: “Kami belajar ilmu untuk selain Allah swt.”, maka Sufyan enggan mengajar mereka dan berharap agar tidak melakukannya kecuali untuk Allah swt. Yakni ilmu itu digunakan hanya semata-mata karena Allah swt.
Pasal ke-13:
Termasuk adab seorang guru yang harus ditekankan dan perlu diperhatikan ialah guru harus menjaga kedua tanganya ketika mengajar dari bermain-main dan menjaga kedua matanya dari memandang kemana-mana tanpa keperluan.
Hendaklah dia duduk dalam keadaan suci menghadap kiblat dan duduk tenang dengan memakai baju yang putih bersih. Jika sampai ke tempat duduknya, dia shalat dua rakaat sebelum duduk, baik tempat belajarnya di masjid atau lainnya. Jika sebuah masjid, maka adab itu lebih ditekankan karena hukumnya makruh duduk di situ sebelum shalat dua rakaat. Dia bisa duduk bersila atau dengan cara lainnya.
Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abu Dawud As-Sijistani dengan sanadnya dari Abdullah bin Mas’ud ra.: “Beliau pernah mengajar manusia di masjid sambil duduk berlutut.”
Pasal ke-14:
Termasuk adab guru yang harus ditekankan dan perlu diperhatikan ialah tidak diperkenankan merendahkan ilmu dengan pergi ke tempat yang dihuni pelajar untuk belajar dari padanya. Sekalipun pelajar itu Khalifah atau di bawah kedudukannya. Bagaimanapun dia harus menjaga ilmu dari hal itu sebagaimana yang dilakukan para ulama salaf. Kisah-kisah mereka tentang hal ini sudah banyak diketahui.
Baca juga: