Bagian ini serta dua bagian yang merupakan tujuan penulisan kitab ini. Bagian ini mengandung pembahasan yang panjang dan luas sekali. Saya telah berusaha menyajikan tujuan-tujuannya secara ringkas dalam beberapa pasal supaya mudah diingat dan seterusnya diamalkan, insya Allah.
Pasal ke-1:
Pertama-tama yang mesti dilakukan oleh guru dan pembaca (Al-Qur’an) adalah mengharapkan keridhaan Allah swt. Allah berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah swt. dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Diriwayatkan dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Rasulullah saw: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya setiap orang mendapat apa yang diniatkannya”. Hadits ini merupakan tonggak dan dasar Islam.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Sesungguhnya manusia diberi pahala sesuai dengan niatnya."
Dan dari lainnya: “Sesungguhnya orang-orang diberi pahala sesuai dengan niat-niat mereka.”
Telah diriwayatkan dari Al-ustadz Abu Qasim Al-Qusyairi rahimahullah, dia berkata: “Ikhlas ialah taat kepada Allah swt. saja dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt. tanpa sesuatu tujuan lainnya, seperti berpura-pura kepada makhluk atau menunjukkan perbuatan baik kepada orang banyak atau mengharap kecintaan atau pujian dari manusia atau sesuatu makna selain mendekatkan diri kepada Allah swt”. Dan dia berkata: “Bisa dikatakan, ikhlas itu adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk”.
Diriwayatkan dari Huzaifah Al-Mar’asyi rahimahullah: “Ikhlas ialah kesamaan antara perbuatan-perbuatan hamba secara lahir dan batinnya.”
Diriwayatkan dari Dzun Nun rahimahullah, katanya: “Tiga perkara yang merupakan tanda ikhlas yaitu sama saja tidak terpengaruh oleh pujian dan celaan orang banyak; lupa melihat di antara amal-amal; dan mengharapkan pahala amal-amalnya di akhirat.”
Diriwayatkan dari Fudhai bin Iyadh ra, katanya: “Meninggalkan amal untuk orang banyak adalah riya dan beramal untuk orang banyak adalah syirik, sedangkan ikhlas adalah jika Allah swt membebaskanmu dari keduanya.”
Diriwayatkan dari Sahl At-Tustari rahimahullah, katanya: “Orang-orang cerdas mengetahui penafsiran surah Al-Ikhlas, tapi mereka tidak mendapat selain ini yaitu gerak dan diamnya dalam keadaan sendiri ataupun di hadapan orang lain hanya bagi Allah swt. semata-mata, tidak bercampur sesuatu apapun baik nafsu, keinginan ataupun kesenangan dunia.”
Diriwayatkan dari As-Sariyyu rahimahullah, katanya: “Jangan lakukan sesuatu karena mengharap pujian orang banyak, jangan tinggalkan sesuatu karena mereka, jangan menutup sesuatu karena mereka dan jangan membuka sesuatu karena mereka.”
Diriwayatkan dari Al-Qusyairi, katanya: “Kebenaran yang paling utama adalah kesamaan antara dalam keadaan sunyi (sendiri) ataupun di dalam keadaan ramai.”
Diriwayatakan dari Al-Harith Al-Muhasibi rahimahullah, katanya: “Orang yang benar tidak peduli, meskipun dia keluar dari segala apa yang ditetapkan dalam hati makhluk terhadapnya untuk kebaikan hatinya. Dan dia tidak suka orang-orang mengetahui kebaikan perbuatannya sedikit pun dan tidak benci jika orang-orang mengetahui perbuatannya yang buruk karena kebenciannya atas hal itu adalah sebagai bukti bahwa dia menyukai tambahan di kalangan mereka, yang demikian itu termasuk akhlak orang-orang yang lurus.”
Diriwayatkan dari lainnya: “Jika engkau memohon kepada Allah swt. dengan kebenaran, maka Allah swt. memberimu cermin di mana engkau melihat segala sesuatu dari keajaiban dunia dan akhirat.”
Banyak pendapat ulama salaf berkenaan dengan hal ini. Saya hanya menyinggung sebagian kecil saja sekedar untuk mengingatkan. Saya telah menyebutkan sejumlah pendapat ulama dan menjelaskannya di awal Syarhil Muhadzdzan dan saya tambahkan adab-adab orang alim dan pelajar, orang faqih dan pelajar fiqh yang diperlukan bagi mereka yang sedang menuntut ilmu. Wallahu a’lam.
Pasal ke-2:
Hendaknya seseorang tidak memiliki tujuan dengan ilmu yang dimilikinya untuk mencapai kesenangan dunia berupa harta atau ketenaran, kedudukan, keunggulan atas orang-orang lain, pujian dari orang banyak atau ingin mendapatkan perhatian orang banyak dan hal-hal lain yang seperti itu.
Hendaklah guru tidak mengharapkan dengan pengajarannya itu sesuatu yang dperlukan dari murid-muridnya, baik itu berupa pemberian harta atau pelayanan, meskipun sedikit dan sekalipun berupa hadiah yang seandainya dia tidak mengajarinya membaca Al-Qur’an, tentulah dia tidak diberi hadiah. Allah berfirman: “Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian daripada keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat.” (QS. Asy-Syura: 20)
Allah berfirman: “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” (QS. Al-Isra’: 18)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, katanya: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang keridhaan Allah swt. dari ilmu yang dimilikinya, sedangkan dia tidak mempelajarinya kecuali hanya untuk mendapat kesenangan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (Riwayat Abu Dawud dengan sanad sahih). Dan masih banyak lagi hadits-hadits seperti itu.
Diriwayatkan dari Anas, Hudzaifah dan Ka’ab bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa menuntut ilmu sekedar untuk mencari kemenangan berdebat dengan orang-orang yang lemah (bodoh) atau membanggakan diri kepada para ulama atau memalingkan perhatian orang-orang kepadanya, maka biarlah dia mendapatkan tempat yang celaka di neraka.” Abu Isa berkata: Hadits ini adalah hadits Gharib.
Pasal ke-3:
Hendaklah dia waspada agar tidak memaksakan banyak orang yang belajar dan orang yang datang kepadanya, hendaklah dia tidak membenci murid-muridnya yang belajar kepada orang lain selain dirinya. Ini musibah yang menimpa sebagian pengajar yang lemah dan itu bukti jelas dari pelakunya atas niatnya yang buruk dan batinnya yang rusak. Bahkan itu adalah dalil yang meyakinkan bahwa dia tidak menginginkan keridhaan Allah Yang Maha Pemurah dengan pengajarannya itu. Karena jika dia menginginkan keridhaan Allah swt. dengan pengajarannya, tentulah dia tidak membenci hal itu, tetapi dia akan mengatakan kepada dirinya: “Aku menginginkan ketaatan dengan pengajarannya. Dengan belajar kepada orang lain dia ingin menambah ilmu, maka tidak ada yang salah dengan dirinya.”
Telah diriwayatkan dalam Musnad Imam yang diakui keabsahan dan kepemimpinannya Abu Muhammad Ad-Darimi rahimahullah dari Ali bin Abu Thalib ra, katanya: “Wahai orang-orang berilmu! Amalkanlah ilmumu, karena orang alim itu ialah orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya dan ilmunya sesuai dengan amalnya. Akan muncul orang-orang yang mempunyai ilmu dan tidak melampaui tenggorokan mereka dan perbuatan mereka bertentangan dengan ilmu mereka dan batin mereka bertentangan dengan dhahirnya. Mereka duduk di majelis-majelis dan sebagian mereka membanggakan diri kepada sebagian lainnya sampai ada orang yang marah kepada kawan duduknya karena belajar kepada orang lain dan dia meninggalkannya. Amal-amal yang mereka lakukan di majelis-majelis itu tidak akan sampai kepada Allah swt.”
Telah diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i ra., bahwa beliau berkata: “Aku berharap agar orang belajar ilmu ini -yakni ilmu dan kitab-kitabnya- supaya dia tidak menisbatkan atau menyandarkan kepadaku satu huruf pun daripadanya.”
Pasal ke-4:
Pengajar harus memiliki akhlak yang baik sebagaimana ditetapkan syari’at, berkelakuan terpuji dan sifat-sifat baik yang diutamakan Allah swt., seperti zuhud terhadap keduniaan dan mengambil sedikit daripadanya, tidak mempedulikan dunia dan pecintanya, sifat pemurah dan dermawan serta budi pekerti mulia, wajah yang berseri-seri tanpa melampaui batas, penyantun, sabar, bersikap wara’, khusyu’, tenang, berwibawa, rendah hati dan tunduk, menghindari tertawa dan tidak banyak bergurau.
Dia harus selalu mengerjakan amalan-amalan syari’at, seperti membersihkan kotoran dan rambut yang disuruh menghilangkannya oleh syari’at, seperti mencukur kumis dan kuku, menyisir jenggot, menghilangkan bau busuk dan menghindari pakaian-pakaian tercela. Hendaklah dia menjauhi sifat dengki, riya, sombong dan suka meremehkan orang lain, meskipun tingkatan orang itu di bawahnya.
Sudah sepatutnya dia menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan tasbih, tahlil, dzikir-dzikir dan doa-doa lainnya. Dan hendaknya dia selalu mengingat Allah swt. dalam kesunyian ataupun keramaian, serta memelihara sikap itu dan hendaklah bersandar kepada Allah swt. dalam semua urusannya.
Baca juga: