Bahwasanya penulisan Al-Qur’an yang memakai tulisan sebagian lafadz-lafadznya dengan cara yang berbeda dari cara penulisan pada umumnya. Penulisan lafadz itu ada yang menambah atau mengurangi sebagian hurufnya, dan terkadang pula merubah bentuk lafadznya. Hal itu menunjukkan bahwa penulisan yang ada pada Al-Qur’an adalah bersifat Tauqifiyyah. Rasulullah saw. telah memerintah untuk menyusunnya. Dan itulah mutlak merupakan tahapan-tahapan pewahyuan Al-Qur’an.
Penulisan sebagian lafadz-lafadz yang ada dalam Al-Qur’an dengan bentuk demikian ini memiliki tujuan-tujuan yang mulia, dan dibutuhkan adanya perenungan dan pemikiran guna menjelaskan maksud dan rahasia dari rahasia-rahasia Al-Qur’an yang keajaibannya tiada akhir.
Berikut ini terdapat suatu (bukti-bukti) yang memperkuat, bahwa penulisan Al-Qur’an bersifat tauqifiyyah dan tidak berdasarkan ijtihad sahabat:
1.) Sesungguhnya, apabila wahyu turun kepada Nabi saw., maka beliau akan memanggil salah satu dari penulis wahyu untuk menuliskan apa yang telah diwahyukan kepadanya, sekalipun (yang diwahyukan) itu hanya satu lafadz. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ketika diturunkan ayat yang berbunyi (غير أولى الضرر), maka Rasulullah saw. bersabda (memerintahkan), “Datanglah kepadaku dengan membawa tulang dan alat tulis.” Beliau memerintahkan Zaid untuk menuliskannya dan Zaid pun segera melaksanakannya (menuliskannya). Begitu pula sebagaimana hadis dari Ibnu Abbas: “Apabila diturunkan sebuah surah kepada Rasulullah saw., maka beliau memanggil sebagian penulis (wahyu), lalu beliau bersabda, “Letakkanlah wahyu ini pada tempat yang telah disebutkan begini dan begini.”
2.) Berdasarkan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Bahwasanya Al-Qur’an adalah ( كتب) dan Al-Qur’an adalah (صحفا مطهرة), (بل هو قرآن مجيد . فى لوح محفوظ), (إنه لقرآن كريم . فى كتب مكنون), dan sesungguhnya Rasulullah (رسول من الله يتلوا صحفا مطهرة . فيها كتب قيمة), dan bagaimana Al-Qur’an menjadi kitab yang terjaga, bukankah lafadz-lafadznya tertulis dengan tauqifiyyah? Jawaban itu terdapat dalam surah Al-Furqan (وقالوا أسطير الأولين اكتتبها فهي تملى عليه بكرة وأصيلا). Demikianlah, dalil-dalil yang telah tersebut yang memberikan penguatan (sebagai dasar), bahwa penulisan Al-Qur’an yang telah ada di tangan kita saat ini adalah benar-benar sama dengan penulisan Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz dan benar-benar kitab yang terpelihara.
3.) Meskipun demikian, orang menyebut penulisan Al-Qur’an setelah terkumpulnya di masa Sayyidina Utsman bin Affan dengan sebutan Rasm Utsmani. Padahal, Sayyidina Utsman (sebagai penulis) tidak pernah menulis lafadz-lafadz dalam Al-Qur’an melainkan ketika di hadapan Rasulullah saw. Hanya saja, setelah perluasan wilayah Islam, terjadilah perbedaan di dalam Qira’at. Oleh karena itulah, maka orang-orang kemudian mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Syaikh Abu Bakar Al-Baqilani berpendapat di dalam kitab Al-Intishar, “Kami berpendapat bahwa pengumpulan semua (ayat) Al-Qur’an yang diturunkan Allah, diperintahkan agar menetapkan rasmnya dan tidak menghapusnya, tidak menghilangkan bacaannya setelah turunnya, ini adalah dua sampul yang dihimpun menjadi mushaf”. Sayyidina Utsman tidak pernah sama sekali mengurangi atau menambahi sesuatupun dari Al-Qur’an. Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan urutan dan pengaturan dalam Al-Qur’an di setiap surah-surahnya. (Dinukil) dari kitab Al-Itqan fi ulumil qur’an karya Imam As-Suyuthi.
4.) Berdasarkan pendapat yang unggul, bahwasanya orang-orang yang menghimpun Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan berjumlah 4 orang; 3 orang dari Quraisy dan 1 orang dari Madinah sebagaimana penjelasan yang dahulu. Hal ini benar-benar sesuai dengan terkumpulnya Al-Qur’an yang diturunkan di Mekah sebanyak 3/4 , sedang yang diturunkan di Madinah sebanyak 1/4. Menariknya lagi dan patut untuk diperhatikan, bahwa kesesuaian ini berlanjut pada perbandingan antara jumlah surah dan jumlah ayat-ayatnya dilihat dari satu sisi. Seperti jumlah surah yang diturunkan di Mekah menurut pendapat yang unggul ada 86 surah, kemudian dibandingkan dengan keseluruhan surah yang ada di Al-Qur’an yaitu 114 surah, maka diperoleh hasil dari membandingkan keduanya yaitu 3/4. Selanjutnya dari jumlah ayat-ayat yang ada di dalam surah Makiyyah jumlahnya 4.613 ayat dibandingkan dengan seluruh ayat yang ada dalam Al-Qur’an berjumlah 6.236 ayat, maka diperoleh hasil 3/4 juga.
5.) Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, terkait pengumpulan Al-Qur’an, bahwasanya Al-Qur’an tidak ditulis kecuali apabila sudah ditetapkan dan ditulis di hadapan Rasulullah saw. Maksudnya, bahwa penulisan Al-Qur’an itu berdasarkan pendiktean (bimbingan) dari Rasulullah saw., tidak ditulis dengan cara diperdengarkan, karena penulisan Al-Qur’an yang didikte dari Rasulullah saw. menggunakan bentuk yang khusus.
6.) Telah diterangkan juga sebelumnya, terkait permulaan pengumpulan Al-Qur’an pada masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq. Zaid bin Tsabit berkata, “Demi Allah, seandainya aku diberi beban (diperintah) untuk memindahkan gunung, maka hal itu masih ringan menurutku dibandingkan harus menghimpun Al-Qur’an”. Sungguh, Zaid bin Tsabit adalah seorang hafidz dan termasuk penulis wahyu Allah yang berasal dari Madinah. Walaupun demikian, menurutnya sangatlah berat mengumpulkan tulisan Al-Qur’an yang sudah didikte di hadapan Rasulullah secara khusus, dan hampir 3/4 dari al-Qur’an diturunkan di Mekah.
7.) Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, masih terkait di dalam pengumpulan Al-Qur’an dari perkataan Zaid bin Tsabit , “Kami selalu di sisi Rasulullah saw. ketika kami menyusun Al-Qur’an dari lembaran-lembaran.”
8.) Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an, bahwa Allah swt. menjamin terjaganya Al-Qur’an (إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحفطون) pada surah Al-Hijr. Bahkan lebih dari itu, Allah juga menjamin terhadap dikumpulkannya Al-Qur’an dan dijelaskannya kepada manusia (إن علينا جمعه وقرآنه . فاذا قرأنه فاتبع قرآنه . ثم علينا بيانه) pada surah Al-Qiyamah.
9.) Dalil yang kami pilih menunjukkan, bahwa penulisan Al-Qur’an dan rasmnya ditulis tersendiri secara khusus pada Al-Qur’an yang satu. Kita tidak bisa menyamakannya ketika kita membaca surat Rasulullah yang ditujukan kepada raja-raja dan pembesar-pembesar yang telah kita ketahui sejarahnya. Bahwasanya penulisan kata-kata di surat Rasulullah itu menggunakan penulisan pada umumnya, tidak sama dengan lafadz-lafadz khusus yang ada di dalam Al-Qur’an. Meskipun surah-surat tersebut ditulis pada masa-masa di mana Al-Qur’an diturunkan dan penulisan wahyu masih berlangsung dengan pendiktean (bimbingan) dari Rasulullah saw. Sebagaimana surat yang ditulis Nabi untuk raja Heraclius, penguasa bangsa Romawi, Nabi menulis lafadz (سلام) dengan menggunakan alif yang jelas, meskipun terdapat lafadz (سلم) tanpa alif (wastiyah) di dalam Al-Qur’an sebanyak 42 kali. Demikian juga lafadz (الإسلام) yang ditulis dengan menggunakan alif yang jelas dan berbeda dengan penulisan yang ada di dalam Al-Qur’an ketika menulis lafadz (الإسلم) dengan tanpa alif (wastiyah) sebanyak 8 kali. Begitu juga menulis lafadz (يا أهل الكتاب) dalam surat Nabi dengan menggunakan alif yang jelas setelah huruf nida’, dan juga dengan alif yang jelas pada lafadz (أهل الكتاب). Meskipun demikian, Al-Qur’an tidak menolak penulisan dengan rasm tersebut walaupun terdapat tulisan huruf nida’ tanpa alif dan lafadz (أهل الكتاب) tanpa alif wasthiyah (tengah). Terdapat lafadz (يأهل الكتب) dengan tanpa alif di dalam Al-Qur’an sebanyak 12 kali. Selanjutnya masih seputar penulisan surat, dimana Nabi saw. pernah mengirimkan surat yang kepada raja Najasyi, penguasa negeri Habasyah. Di dalam surat tersebut, ketika beliau menyebutkan: Isa bin Maryam adalah utusan Allah, dan lafadz (ألقاها) ditujukan kepada Maryam al-Batul. Terdapat lafadz (ألقاها) pada surat yang ditulis oleh Nabi dengan menggunakan alif tengah. Sedangkan di dalam Al-Qur’an, lafadz (ألقها) tanpa alif tengah sebanyak dua kali yang terdapat di surah An-Nisa’ ayat 171 dan surah Thaha ayat 20.
Begitu juga surat Nabi saw. yang diberikan kepada Bani Jilnid, di dalam surat tersebut disebutkan lafadz (الكافرين) dengan menggunakan alif yang jelas. Di dalam Al-Qur’an tidak seluruhnya ditulis dengan bentuk demikian itu, hanya ada sekitar 84 kali. Sedangkan yang lainnya (bentuk kata الكا فرين) itu ditulis dengan tidak menggunakan alif jelas.
Hal itu menunjukkan bahwa penulisan yang pada umumnya itu tetap bergulir (ada) di antara masa-masa turunnya Al-Qur’an. Namun tetap penulisan Al-Qur’an tidak bisa disamakan dengan penulisan pada umumnya, penulisan Al-Qur’an (memiliki karakter) tersendiri yang mana Allah telah menkhususkannya. Bahwasanya penulisan yang tersendiri ini memiliki tujuan yang mulia dan makna yang agung. Penulisan yang tersendiri (khusus) itu diperuntukkan untuk lafadz yang ada pada Al-Qur’an yang memiliki makna-makna yang mendalam dan baru disetiap waktu/masa dengan ijin Allah hingga datang hari kiamat.
Demikian juga, di sini terdapat dalil lain yang menetapkan bahwa penulisan Al-Qur’an dengan penulisan pada umumnya itu berbeda. Yaitu (dapat dilihat) pada penulisan nama-nama surah Al-Qur’an yang ada pada mushaf, yang sebenarnya tidaklah merupakan bagian dari Al-Qur’an. Oleh karena itu, penulisan pada umumnya berbeda dari penulisan Al-Qur’an yang ada di dalam isi surahnya. Contoh: surah As-Shaffat, pada nama surahnya ditulis dengan menggunakan alif jelas, hal itu berbeda tulisannya kata As-Shaffat ditulis di dalam surah (ayat) tidak menggunakan alif tengah/jelas. Pada surah Al-Hujurat (nama surah) ditulis dengan menggunakan alif jelas, sedangkan pada ayatnya ditulis tidak dengan alif jelas. Seperti itu terdapat pada surah-surah yang lain yaitu;Adz-Dzariyat, Al-Munafiqun, Ath-Thalaq, Al-Qiyamah, Al-Insan, Al-Mursalat, An-Naziat, Al-Ghasyiyah, Al-Adiyat, Al-Kafirun, semuanya ini penulisan di dalam surahnya (ayat) tanpa ada alif tengah. Begitu juga penulisan nama surah Al-Lail yang menggunakan lam tengah, sedangkan penulisan Al-Lail yang ada di dalam ayat semuanya tanpa ada lam tengah/ditulis dengan menggunakan lam bertasysdid.
Wallahu A’lam
Penerjemah: Saifur Ashaqi dkk.
Sumber: Kitab I’jazu Rasmil Qur’an karya Syaikh Muhammad Syamlul dari Mesir